opini

UU TNI yang Baru Dinilai Timbulkan Tumpang Tindih Kewenangan dengan Polri

Senin, 7 April 2025 | 10:53 WIB
Ilustrasi, Tentara Nasional Indonesia (TNI) (Foto Antara)

 

Krjogja.com - Perubahan terbaru terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali menuai sorotan. Salah satu isu yang mengemuka adalah perluasan kewenangan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang dinilai berpotensi menimbulkan tumpang tindih dengan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), khususnya dalam penanganan aksi terorisme.

Salah satu perubahan paling krusial adalah revisi Pasal 7 ayat 2, yang kini memperbolehkan pelibatan TNI dalam OMSP hanya dengan keputusan presiden, tanpa lagi memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini merupakan pergeseran penting dari mekanisme kontrol politik yang semula kolektif menjadi keputusan tunggal di tangan presiden.

Memang, dalam sistem presidensial, presiden memiliki kewenangan luas sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI. Namun demikian, mekanisme check and balances tetap merupakan prinsip fundamental dalam sistem negara hukum demokratis. Oleh karena itu, keputusan presiden terkait pelibatan TNI dalam OMSP seharusnya tetap diiringi dengan transparansi kepada publik guna mencegah potensi penyalahgunaan wewenang.

Ancaman terhadap Peran Polri
Perubahan UU TNI ini juga memunculkan kekhawatiran akan tergerusnya peran Polri dalam bidang keamanan dalam negeri, terutama dalam pemberantasan terorisme. Jika tidak diatur dengan cermat, peran TNI yang diperluas bisa menggeser posisi sentral Polri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Secara normatif, UU No. 5 Tahun 2018 memberikan kewenangan utama kepada Polri dalam penegakan hukum, deradikalisasi, hingga pencegahan radikalisme. Polri juga bertindak sebagai koordinator utama dalam penanggulangan terorisme melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Jika kemudian peran tersebut diambil alih oleh TNI, kita patut mempertanyakan efektivitas dan kejelasan struktur koordinasi di lapangan.

Tumpang Tindih Kewenangan
UU TNI hasil revisi secara eksplisit menambahkan penanganan terorisme sebagai bagian dari tugas OMSP. Tanpa kejelasan pembagian peran, hal ini berisiko menimbulkan konflik kewenangan antara TNI dan Polri. Kita tidak bisa membiarkan tumpang tindih seperti ini terjadi, mengingat operasi di lapangan memerlukan koordinasi yang solid dan terstruktur.

Pemerintah, dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto, perlu segera mengeluarkan aturan turunan dalam bentuk keputusan presiden yang mengatur secara teknis batas-batas pelibatan TNI dalam OMSP, khususnya dalam menangani ancaman terorisme. Aturan ini penting agar pelibatan TNI tetap berada dalam kerangka konstitusi dan tidak merusak sistem hukum nasional yang telah dibangun.

Paradigma Negara dalam Memahami Terorisme
Dalam kajian akademik, terdapat tiga paradigma negara dalam memahami terorisme. Pertama, terorisme sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara. Kedua, sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Ketiga, sebagai kombinasi dari keduanya. Paradigma ketiga inilah yang sebenarnya memungkinkan keterlibatan militer dan polisi secara bersamaan dalam menangani terorisme.

Namun demikian, keterlibatan bersama ini tidak bisa dilakukan tanpa batas dan tanpa arah. Pembagian tugas antara TNI dan Polri harus tegas dan terang-benderang. Jika tidak, justru berpotensi melemahkan kedua institusi sekaligus dan menciptakan kebingungan dalam penanganan terorisme.

Kecenderungan saat ini menunjukkan bahwa negara mulai memandang terorisme lebih sebagai persoalan kedaulatan, bukan semata penegakan hukum. Hal ini memang dapat menjadi justifikasi penguatan peran militer, namun jangan sampai menyebabkan TNI keluar dari mandat utamanya sebagai alat pertahanan negara.

Risiko Terhadap Profesionalisme TNI
Keterlibatan TNI yang terlalu luas dalam urusan domestik seperti penanganan terorisme dan narkotika juga dapat berdampak pada menurunnya fokus TNI terhadap tugas pokoknya, yaitu mempertahankan kedaulatan negara dari ancaman eksternal.

TNI seharusnya diperkuat untuk meningkatkan efek gentar atau deterrence effect terhadap ancaman luar negeri. Dalam situasi geopolitik yang tidak menentu seperti saat ini, kemampuan tempur dan kesiapan militer harus menjadi prioritas utama. Almarhum Salim Said pernah menyampaikan dalam diskusinya bersama Prabowo Subianto bahwa TNI yang terlalu sibuk mengurusi terorisme dan narkoba bisa kehilangan waktu dan fokus untuk latihan perang.

Kembali pada Prinsip Konstitusi
Dalam sistem demokrasi modern, militer harus berada di bawah kontrol sipil yang sah dan akuntabel. Pasal 10 UUD 1945 memang menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan tertinggi atas TNI, namun kekuasaan tersebut tetap harus dijalankan dalam koridor checks and balances.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB