opini

Pemblokiran Rekening dalam Kejahatan Keuangan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:10 WIB
Kwartono Rachmadi.


KRjogja.com - LAPORAN tahunan PPATK 2024 mencatat tiga kejahatan keuangan terbesar berdasarkan nilai transaksi: korupsi, perpajakan, dan perjudian. Korupsi dan penggelapan pajak masih dominan secara nominal dan bersifat sistemik. Namun perjudian, meskipun di urutan ketiga, memiliki dampak sosial yang lebih langsung, terutama bagi masyarakat bawah yang tergiur janji cepat kaya. Tak heran bila pemerintah memberi perhatian lebih pada kejahatan ini.

Model perjudian daring sangat khas: operator menjual mimpi, masyarakat membeli harapan. Prosesnya cepat, terbuka, dan seluruhnya bergantung pada rekening aktif. Rekening-rekening itu atas nama masyarakat sendiri—baik secara sadar, maupun lewat peminjaman atau pembelian identitas. Tidak ada peran rekening pasif di sini. Sebaliknya, rekening yang digunakan justru kerap baru dibuka dan ditutup setelah transaksi selesai.

Baca Juga: Pengurus FKOK DIY Silaturahmi dengan KR, Dimana 'Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung'

Apakah rekening pasif dimanfaatkan untuk kejahatan, khususnya perjudian? Informasi semacam itu tidak ditemukan dalam laporan tahunan maupun buletin statistik bulanan yang diterbitkan PPATK. Karena itu, kebijakan pemblokiran massal terhadap rekening pasif memunculkan pertanyaan besar: seberapa relevan langkah ini? Apakah berdasarkan analisis yang memadai, atau sekadar asumsi? Kita tentu bisa membayangkan rekening pasif digunakan tanpa sepengetahuan pemilik sebagai tempat penampungan hasil kejahatan. Namun dugaan semacam itu belum cukup untuk kebijakan besar yang menyasar luas.

Jika pun digunakan dalam kejahatan, peran rekening pasif biasanya sangat terbatas—hanya sebagai tempat "parkir" dana sebelum dipindah. Itu pun sulit dilakukan tanpa keterlibatan oknum internal bank, karena akses terhadap rekening ada pada sistem perbankan. Jadi, sumber masalah bukan pada rekening pasifnya, melainkan lemahnya pengendalian internal.

Baca Juga: Warga Sragen Panik Gas Melon Sulit Didapat, Pertamina Bakal Tambah Pasokan

Faktanya, banyak rekening pasif adalah milik masyarakat kecil yang menabung untuk kebutuhan darurat: biaya berobat, kematian, atau pendidikan anak. Rekening ini tampak tidak aktif karena memang jarang digunakan. Ironisnya, saat darurat tiba, akses justru diblokir oleh kebijakan yang tidak berbasis data. Masyarakat harus menghadapi birokrasi pembukaan blokir dalam kondisi tertekan. Ini tentu bukan tujuan kebijakan publik.

Pemblokiran massal terhadap rekening pasif lebih berisiko menyasar yang tidak bersalah ketimbang mencegah kejahatan. Cara yang lebih efektif adalah membenahi sistem pengendalian internal. Bank harus memiliki standar operasional yang jelas: mulai dari definisi rekening pasif, pemantauan, hingga penanganan. Peran auditor internal menjadi kunci dalam verifikasi data nasabah dan mendeteksi pola aktivitas mencurigakan. Dengan begitu, potensi penyalahgunaan bisa dicegah lebih dini dan lebih tepat sasaran. (Kwartono Rachmadi, Sekretaris Asosiasi Audit Internal DIY – Jawa Tengah)

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB