KRjogja.com - POLEMIK belakangan ini tentang video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah mengatakan “guru adalah beban negara” kembali mengusik perhatian publik. Potongan video itu ternyata hasil manipulasi digital (deepfake) yang mereduksi isi pidato panjang tentang tantangan fiskal pendidikan. Kasus ini menyangkut dua hal. Pertama, betapa berbahayanya manipulasi informasi. Kedua, betapa sensitifnya isu guru.
Guru dan Martabat Bangsa
Bung Karno pernah menegaskan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Tentara dan pejuang kemerdekaan adalah pahlawan bangsa, sedangkan guru adalah pahlawan peradaban. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga menanamkan nilai dan membentuk karakter anak-anak bangsa.
Masyarakat sering memperlakukan guru sekedar sebagai angka dalam anggaran. Padahal, guru adalah kunci dari pendidikan sebagaimana digagas Ki Hadjar Dewantara, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Guru memberi teladan, menumbuhkan semangat dan menuntun anak didik. Dengan demikian, guru adalah aset bangsa, bukan beban negara.
Beban Fiskal atau Investasi?
Dalam pidato yang dipotong, Sri Mulyani sedang mengajak kita berefleksi bagaimana mendanai pendidikan secara berkelanjutan. Gaji dan tunjangan guru sebagian besar ditanggung APBN. Pertanyaannya, apakah hal itu dilihat sebagai beban atau investasi jangka panjang?
Jika pendidikan merupakan jalan menuju Indonesia Emas 2045, maka guru adalah tiang penyangganya. Masalahnya, publik sering menilai anggaran pendidikan hanya dari besarnya angka. Padahal persoalannya lebih kompleks: distribusi guru tidak merata, kualitas pelatihan tidak konsisten, dan birokrasi pengelolaan pendidikan sering menghambat kreativitas guru.
Tantangan di Era Digital
Polemik ini juga menunjukkan betapa dahsyatnya dampak “deepfake.” Satu potongan video bisa merusak reputasi seorang pejabat, sekaligus memantik kemarahan jutaan guru. Literasi digital kita masih rapuh: masyarakat cepat percaya sebelum sempat memeriksa.
Inilah tantangan baru pendidikan nasional. Guru selama ini mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung, kini mereka juga harus membekali anak-anak dengan kemampuan memilah informasi, berpikir kritis, dan mengolah emosi di tengah arus media sosial. Pendidikan literasi digital tidak kalah penting dari pendidikan matematika atau sains.
Mengembalikan Narasi
Kita tidak boleh terjebak dalam retorika guru sebagai beban negara. Kita harus mengembalikan narasi bahwa guru adalah aset bangsa. Ki Hadjar Dewantara mengingatkan, pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan, melainkan proses pembentukan karakter. Jika demikian, mengapa kita masih sering menomorduakan kesejahteraan guru?
Polemik ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat komitmen negara terhadap guru: bukan sekedar menaikkan gaji, melainkan memperhatikan kualitas hidup guru secara holistik: memberi kesempatan pengembangan diri, mengakses teknologi dan penghargaan yang layak.