opini

Kritik atas Framing Negatif Pesantren: Kekeliruan Paradigma

Rabu, 15 Oktober 2025 | 14:35 WIB
Prof Dr KH Abdul Mustaqim (Ist)

Krjogja.com - Senin 13 Oktober lalu stasiun televisi nasional Trans 7 menayangkan program siaran yang menyorot kehidupan pesantren. Dalam tayangan tersebut, publik disodorkan narasi visual yang menggambarkan pesantren sebagai ruang feodalisme di mana ada kiai menerima amplop dari santri.

Lalu dinarasikan dengan <I>cekikak-cekikik<P> oleh suara perempuan , bahwa kiai itu mobilnya mewah, sarungnya mahal. Para santri harus jongkok atau ngesot di hadapan kiai, hingga kerja bakti atau <I>ro an<P> dianggap sebagai bentuk perendahan martabat.

Framing semacam ini tentu memantik kegelisahan banyak kalangan, terutama keluarga besar pesantren. Masalahnya bukan semata pada fakta visual yang disajikan, melainkan pada cara pandang (paradigma) yang melatarinya. Media, dengan kacamata eksternal (paradigma etik), melihat fenomena pesantren dengan logika institusi modern sekuler: hubungan guru-murid dipahami semata-mata dalam kerangka relasi pedagogik formal, seperti sekolah umum. Padahal, dunia pesantren memiliki paradigma emik, yakni cara pandang dan sistem makna yang lahir dari dalam tradisi itu sendiri.

Pendekatan fenomenologi mengajarkan bahwa untuk memahami sebuah realitas sosial, seseorang harus masuk ke dalam horizon makna para pelakunya.

Dalam dunia pesantren, relasi kiai dan santri bukanlah relasi transaksional atau hierarkis sebagaimana dipahami dalam struktur kekuasaan modern. Ia adalah relasi spiritual, keilmuan, dan pengabdian. Di pesantren itu ada kearifan lokal, bil khidmah tunalul barakah.

Menghormati kiai dengan cara duduk sopan, "ngesot" (meski ngesot ini tdk berlaku pada semua pesantren), atau mencium tangan, bukanlah tanda perendahan diri, melainkan ekspresi <I>ta‘zhim<P>—sebuah bentuk penghormatan yang dihidupi sebagai nilai spiritual dan rasa cinta kepada guru atau kiai.

Demikian pula amplop atau hadiah yang diberikan santri kepada kiai, bukan “suap” atau “transaksi”, tetapi bagian dari adab tabarrukan, mencari keberkahan dari ilmu dan guru. Itu pun, banyak kiai yang sebenarnya bekerja dan punya usaha ekonomi atau bisnis. Tapi tidak semua orang tahu.

Jika fenomena ini dipahami dengan paradigma luar dan liar, tentu akan terlihat “feodal” atau “tidak egaliter”. Namun bila dilihat dari dalam, maknanya justru sangat luhur. Sebab kiai diposisikan sebagai mursyid (pembimbing ruhani) dan pewaris ilmu, sementara santri berperan sebagai murid yang mengabdi untuk mencari keberkahan ilmu, bukan sekadar ijazah.

Agaknya menarik teori Karl Mannheim, untuk melihat bagaimana konteks sosial dan makna itu harus dipahami dengan baik. Karl Mannheim, dalam teori sosiologi pengetahuannya, menyebut bahwa makna sosial tidak pernah netral.

Makna selalu lahir dalam konteks sosial-historis tertentu. Cara pandang media arus utama sering kali dipengaruhi oleh ideologi modernitas. Segala hal harus rasional, egaliter, dan terukur dengan logika pasar.

Sebaliknya, pesantren hidup dalam <I>universe of meaning<P> yang berbeda. Ilmu dipahami sebagai warisan suci, guru dimuliakan sebagai pewaris para nabi, dan adab ditempatkan di atas intelektualitas.

Maka, saat realitas pesantren “dibaca” dengan kacamata modern semata, yang muncul hanyalah distorsi makna—apa yang suci dianggap feodal, apa yang luhur ditafsir sebagai subordinatif. Di sinilah pentingnya mendudukkan tradisi sebagai modal sosial.

Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga ruang reproduksi nilai-nilai sosial dan spiritual. Tradisi kerja bakti (<I>ro’an<P>) bukanlah perintah jongos, melainkan pembiasaan gotong-royong, tanggung jawab kolektif, dan adab melayani. Lagi pula <I>ro'an<P> (kerja bakti) itu biasa untuk membersihkan kamar mandi dan halaman pesantren supaya bersih.

Kalau ada sebagian yang ikut bantu kiai, biasanya mereka santri khusus, mereka dibebaskan syahriahnya (SPP) atau ditanggung makan minumnya oleh kiainya. Ini yang tidak dimengerti media atau orang di luar pesantren.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB