Sikap hormat pada kiai tidak mematikan nalar, melainkan membentuk kepribadian rendah hati di hadapan ilmu. Ironisnya, media televisi sering kali lebih suka pada “narasi sensasional” ketimbang menyelami kedalaman makna lokal.
Akibatnya, pesantren yang sesungguhnya menjadi pilar peradaban Islam Nusantara sejak berabad-abad lalu, dipersepsikan negatif oleh publik perkotaan yang tidak mengenal dunia pesantren secara langsung.
Tayangan Trans7 perlu dikritisi, bukan untuk menolak transparansi atau evaluasi terhadap pesantren, melainkan untuk melawan kolonialisasi makna. Dunia pesantren berhak menjelaskan dirinya sendiri, bukan semata menjadi objek framing media.
Tayangan media yang sehat seharusnya tidak hanya melihat atau menghakimi, tetapi juga memahami dengan baik dan utuh. Dengan pendekatan fenomenologi, pembuat program tayangan media seharusnya menyelami makna yang dihayati para santri dan kiai.
Mereka perlu sadar bahwa cara pandang mereka sendiri terbentuk oleh konstruksi sosial modern. Dua kesadaran ini penting agar media tidak menjadi alat penghakiman, melainkan jembatan pemahaman. (*)
Prof Dr KH Abdul Mustaqim, Pengasuh PP LSQ ar Rohmah Yogyakarta.