KRjogja.com - Yogyakarta sebagai kota pelajar, menghadapi tantangan kompleks dalam dunia pendidikan tingginya. Dengan 5 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 100 Perguruan Tinggi Swasta (PTS), daerah istimewa ini menjadi episentrum akademik yang menyedot minat pelajar dari berbagai penjuru tanah air. Namun dibalik gemerlap reputasinya, terjadi ketimpangan struktural yang mengancam keberlangsungan dan harmoni kehidupan akademik. Dinamika persaingan yang tidak seimbang antara PTN dan PTS menciptakan kesenjangan ekosistem pendidikan yang jika dibiarkan dapat mengikis makna Yogyakarta sebagai kota pendidikan inklusif. Lima PTN besar menikmati limpahan animo masyarakat, sementara 100 PTS dengan beragam kapasitas dan kontribusinya harus berjuang keras untuk bertahan.
Dunia pendidikan pun tidak luput dari reproduksi ketidaksetaraan sosial sebagaimana dikemukakan Pierre Bourdieu dalam teori social reproduction. Reproduksi ketimpangan terwujud dalam kompetisi tidak seimbang untuk merebut calon mahasiswa, disparitas pendanaan dan kebijakan yang memperlebar jurang antara PTN dan PTS. Stratifikasi ini tidak hanya berdampak pada kelangsungan institusi, tetapi telah menciptakan hierarki sosial baru dalam kehidupan akademik yang mengancam harmoni intelektual kita.
Saatnya seluruh pemangku kepentingan untuk refleksi bersama memikirkan ulang tata kelola pendidikan tinggi Yogyakarta. Sudahkah membangun ekosistem pendidikan yang berkeadilan? Apakah mekanisme pasar yang membiarkan yang kuat semakin kuat, yang lemah tersingkir merupakan jalan terbaik untuk memajukan pendidikan nasional?.
Melalui perspektif sosiologi pendidikan, perlu merumuskan paradigma baru yang mengedepankan semangat collective advancement diatas individual competition, karena keberhasilan pendidikan tinggi di Yogyakarta bukan diukur dari suksesnya segelintir institusi, tetapi dari kontribusinya yang merata bagi kemajuan bangsa. Saatnya bersama membangun mosaik harmoni dimana PTN dan PTS tidak lagi dilihat sebagai pesaing, tetapi sebagai mitra sejajar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Hanya dengan semangat gotong royong dan keadilan akademik, Yogyakarta dapat mewujudkan kota pelajar yang inklusif dan berkeadilan bagi seluruh anak bangsa.
Kompetisi Tidak Seimbang dalam Ekosistem Pendidikan Yogyakarta
Landskap pendidikan tinggi di Yogyakarta ditandai dengan dominasi perguruan tinggi negeri dalam hal penerimaan mahasiswa baru. Data dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menunjukkan animo yang sangat tinggi terhadap PTN, dimana program studi seperti Ilmu Komunikasi memiliki 9.103 peminat untuk daya tampung hanya 180 kursi . Sementara itu PTS terkemuka Universitas Ahmad Dahlan (UAD) hanya mampu menerima sekitar 4.300 mahasiswa baru (2025), angka yang jauh dibawah kapasitas PTN besar seperti UGM. Ruang gerak PTS semakin sempit dengan kebijakan PTN Badan Hukum (PTN-BH) yang memperbesar kuota penerimaan mahasiswa dan memperpanjang masa penerimaan hingga Juli atau Agustus, menyisakan waktu sangat terbatas bagi PTS untuk merekrut mahasiswa.
Ketimpangan struktural antara PTN dan PTS semakin dalam dengan adanya perbedaan perlakuan pemerintah dalam hal pendanaan. Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menyoroti bahwa bantuan pemerintah justru lebih banyak diarahkan kepada PTN, sementara PTS harus menanggung sendiri pembiayaan pembangunan infrastrukturnya. Masalah yang sama juga terjadi dalam program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, porsi untuk PTN jauh lebih besar dibandingkan untuk PTS. Berdasarkan data jumlah PTN di Indonesia hanya 125, dan PTS sebanyak 2.990 atau hampir 24 kali lipat lebih banyak . Ironisnya kontribusi negara dalam memberikan dukungan tidak sebanding dengan jumlah institusi yang beroperasi.
Rekonfigurasi Sistem Pendidikan Tinggi
Solusi struktural yang dapat diimplementasikan adalah (1) kebijakan kuota yang berkeadilan bagi seluruh perguruan tinggi di Yogyakarta. Pemerintah dan LLDIKTI dapat menetapkan kuota penerimaan mahasiswa baru untuk seluruh perguruan tinggi di Yogyakarta berdasarkan daya tampung dan daya dukung lingkungan . Misalnya jika total kuota mahasiswa baru di Yogyakarta adalah 40.000, mungkin pembagian yang adil dapat diterapkan dengan mempertimbangkan kapasitas dan kontribusi masing-masing institusi. Ini memerlukan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk Forum Rektor Indonesia, LLDIKTI dan APTISI, untuk duduk bersama merumuskan mekanisme yang adil dan berkelanjutan. (2) Pemerintah perlu mengikis ketimpangan perlakuan terhadap PTN dan PTS dengan meningkatkan alokasi dana untuk PTS . Rektor UMY menegaskan bahwa dengan berbagai prestasi yang telah ditorehkan PTS, seharusnya pemerintah melihat kampus swasta sebagai mitra penting dalam membangun bangsa, bukan malah membuatnya semakin terbebani dengan keterbatasan sumber daya . Selain pendanaan, PTS juga harus meningkatkan kualitas manajemen dan profesionalisme organisasinya. Pengembangan nilai dasar inovatif, profesional dan dedikatif menjadi kunci keberhasilan PTS dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat . (3) Membangun jejaring kolaboratif antara PTN dan PTS dapat menjadi strategi efektif untuk mengurangi kesenjangan dan menciptakan harmoni akademik. Kolaborasi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, pertukaran mahasiswa dan dosen, penelitian bersama . Transfer pengetahuan dan praktik baik dari PTN ke PTS dapat memperkuat kapasitas institusional PTS dalam jangka panjang.
Menuju Harmonisasi Akademik di Yogyakarta