Krjogja.com - Ketika Bank Indonesia mengumumkan rencana penerbitan Rupiah Digital, publik merespons dengan dua tanggapan, antara antuasiasme dan menanggapi dengan kehati-hatian.
Sebagian memandang langkah ini sebagai sebuah keniscayaan dalam arus besar transformasi ekonomi digital global, sementara yang lain menilai Indonesia sekadar mengikuti tren Fear of Missing Out (FOMO) terhadap gelombang digitalisasi moneter dunia.
Faktanya, saat ini lebih dari 130 negara di dunia sedang meneliti atau menguji konsep Central Bank Digital Currency (CBDC) sebagai bentuk evolusi sistem keuangan modern.
Sekitar 19 negara telah melangkah lebih jauh dengan mengimplementasikannya secara resmi, termasuk Tiongkok melalui Digital Yuan dan India dengan Digital Rupee. Langkah ini menunjukkan betapa seriusnya dunia menghadapi era digitalisasi moneter yang tak terhindarkan. Indonesia pun tak ingin tertinggal dalam arus transformasi tersebut.
Melalui Bank Indonesia, pengembangan Digital Rupiah menjadi upaya strategis untuk memperkuat kedaulatan moneter, meningkatkan efisiensi sistem pembayaran, memperluas inklusi keuangan, serta mengantisipasi disrupsi dari aset kripto dan stablecoin yang kian populer di masyarakat.
Dengan karakteristik transaksi yang instan, biaya rendah, dan sistem keamanan yang tinggi, rupiah digital diharapkan menjadi jawaban atas kebutuhan sistem keuangan nasional yang lebih tangguh dan adaptif terhadap teknologi.
Namun, di balik retorika kemajuan teknologi itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah rupiah digital akan benar-benar membawa kemaslahatan bagi masyarakat, atau justru menimbulkan kerentanan baru dalam aspek keadilan, privasi, dan nilai-nilai syariah?
Ulasan Teknologi dan Tantangan Etis
Secara konsep, Rupiah Digital berbeda dari uang kripto seperti Bitcoin. Ia bukan aset spekulatif, melainkan representasi elektronik dari uang resmi negara dengan nilai tetap: satu Rupiah Digital setara satu rupiah fisik.
Bank Indonesia sebagai penerbit menjadi satu-satunya otoritas yang menjamin keabsahan dan stabilitasnya. Dengan sistem enkripsi canggih dan jaringan permissioned blockchain, rupiah digital diharapkan mampu mempercepat transaksi lintas platform, mengurangi biaya transfer, serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan nasional.
Selain itu, keberadaannya diyakini dapat memperluas inklusi keuangan digital dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada uang tunai.
Namun, di balik janji efisiensi itu, terdapat sejumlah catatan kritis. Pertama, isu privasi dan pengawasan menjadi perhatian utama. Sistem yang mampu melacak seluruh transaksi secara real time berpotensi menciptakan kontrol berlebihan terhadap aktivitas finansial warga negara. Bila tidak diimbangi dengan regulasi perlindungan data yang kuat, teknologi ini dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Kedua, literasi digital dan kesenjangan infrastruktur masih menjadi hambatan nyata. Tidak semua masyarakat siap beradaptasi dengan sistem pembayaran digital; di daerah dengan keterbatasan jaringan internet, kehadiran rupiah digital justru bisa memperlebar ketimpangan ekonomi.
Ketiga, perlu diwaspadai potensi munculnya riba terselubung dalam bentuk biaya layanan, bunga saldo digital, atau mekanisme insentif tertentu yang menyimpang dari prinsip keuangan syariah. Tanpa tata kelola yang transparan, inovasi ini bisa berbalik menjadi instrumen ketidakadilan baru dalam ekonomi digital.