PESATNYA perkembangan zaman harus direspons secara cepat dan tepat, tidak terkecuali di sektor pendidikan. Hal ini menuntut sinergi seluruh aspek, yang harus semakin cepat pula. Pada dunia Pendidikan, pemanfaatan teknologi informasi dan “penyegaran†kurikulum dan inovasi pola pembelajaran yaitu PBL (Project-based Learning), yang prinsipnya lebih mendekatkan pembelajaran siswa dengan kenyataan, dunia kerja yang riil.
Pada kenyataannya, problematika karakter lulusan, etos kerja lulusan, keterampilan lulusan, sampai dengan data/angka pengangguran, selalu menjadi tuntutan dan keluhan dunia kerja dan masyarakat luas. Industri/user lulusan biasanya harus melatih dan mendidik pegawai baru, dengan effort besar dan waktu yang relatif panjang, sebelum benar-benar diterjunkan ke lapangan. Semua permasalahan dan mismatch tersebut harus direspon dengan perbaikan yang komprehensif pada sistem pendidikan kita.
Diluncurkannya Merdeka Belajar Episode ke-15 oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim, berupa Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar, merupakan salah satu ikhtiar dalam membenahi kualitas Pendidikan di Indonesia secara komprehensif. Tujuannya tetap tidak berubah dari kebijakan-kebijakan sebelumnya, yaitu menciptakan lulusan/SDM yang unggul, kompeten, produktif, berdaya saing tinggi serta berakhlak mulia yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Kurikulum Merdeka
Tujuan besarnya, secara umum, memang tidak berubah. Namun strategi dan metodenya yang di-inovasi. Kurikulum Merdeka (KM) mendorong pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan serta passion siswa. Tujuannya bukan menciptakan lulusan yang sama persis, seolah semua anak harus diseragamkan meski karakter setiap anak berbeda-beda satu dengan lainnya.
KM juga sangat memberi ruang lebih luas pada pengembangan karakter dan kompetensi dasar siswa. Untuk itu, kurikulum ini memiliki beberapa karakteristik utama. Pertama, pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter (iman, taqwa, dan akhlak mulia, gotong royong, kebinekaan global, kemandirian, nalar kritis, kreativitas); kedua, fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi; ketiga, fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid (teach at the right level) dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal. Lulusan diharapkan menjelma menjadi sosok dengan kemampuan belajar secara mandiri sepanjang hayat, sesuai dengan passion, minat dan bakat masing-masing.
Menengok laporan yang dirilis The World Economic Forum (WEF) pada tahun 2020, terkait kebutuhan skill manusia masa kini dan masa depan, diperkirakan pada tahun 2025, sebanyak 85 juta pekerjaan akan mengalami pergeseran dalam pembagian pekerjaan antara manusia dan mesin. Selain itu, sebanyak 50% karyawan perlu mendapatkan pelatihan kemampuan baru akibat adanya peningkatan adopsi teknologi. Berikut 5 skill yang tertinggi: Complex Problem Solving (keterampilan pemecahan masalah yang kompleks), Critical Thinking (berpikir kritis), Creativity (kreativitas), People Management (skill memanajemen manusia), dan Coordinating with Others (Kemampuan mengkoordinasikan orang lain).
Data dari WEF ini semakin memicu penciptaan SDM unggul, terutama dilandasi pula oleh bonus demografi di Indonesia yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 hingga 2045. Jika salah urus, alih-alih mendapatkan bonus kesempatan kerja, sebaliknya kita malah mendapatkan lonjakan pengangguran.
PBL Pada Kurikulum SMK
Jadi, pada prinsipnya, Kurikulum Merdeka (KM) pada SMK bersifat sangat lebih fleksibel dan adaptif, serta mengurangi kepadatan materi-materi hardskills/cognitive.
Cara terbaik bagi siswa untuk belajar, adalah belajar sambil mengerjakan project nyata. Tantangan riil dari pasar/industri masuk ke dalam ruang pembelajaran. Project tersebut adalah pesanan/order dari konsumen. Di ujung proses PBL, hasil pembelajaran siswa harus berwujud produk nyata, yang sesuai keinginan/pesanan konsumen.
Selama ini SMK dan vokasi memang sudah menerapkan porsi minimal 60% praktek, dan 40% teori. Namun, pembelajaran praktek yang selama ini diterapkan, tidak semuanya dikaitkan dengan pesanan/order riil dari konsumen/industry. Tanpa ada yang memesan/order produk dari pembelajaran praktek yang porsinya sampai 60% atau lebih dari total jam pembelajaran, maka cenderung akan menciptakan lulusan (hanya) sebagai pekerja, yang tidak memiliki softskills, leadership yang cenderung lemah, dan karakter keberkerjaan yang kurang mencukupi.
Pembelajaran praktek dan teori harus diharmonisasikan dengan pola PBL. Pembelajaran yang biasanya dilakukan di kelas-kelas dan terpisah-pisah antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya, disatukan dan dikolaborasikan dengan project yang relevan dengan seluruh mata pelajaran. Inilah perubahan besar dan sangat mendasar, yang didorong oleh implementasi KM.