Oleh : Arga Pribadi Imawan
Peneliti Research Centre for Politics and Government (PolGov) Fisipol UGM
KEKHAWATIRAN sempat terlintas ketika beberapa waktu lalu penyelenggara pemilihan kepala desa (pilkades) di Kabupaten Sleman memutuskan akan tetap melaksanakan pilkades di tengah wabah Covid-19. Bersyukur, Bupati Sleman Sri Purnomo mengeluarkan keputusan untuk penundaan penyelenggaraan pilkades hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Keputusan ini diperkuat arahan pemerintah melalui surat Menteri Dalam Negeri, Maklumat Kapolri serta surat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Penundaan pesta demokrasi ini tidak saja ditempuh oleh Indonesia.
Tercatat sebanyak 20 negara di belahan dunia menunda pemilihan umum (pemilu). Keputusan ini sangatlah tepat dengan didasarkan dua pertimbangan.
Pertama, sangat penting seluruh individu mendukung langkah pemerintah dalam memutus rantai penyebaran virus korona. Ini adalah persoalan kemanusiaan. Kedua, bukan tidak mungkin jika memaksakan pagelaran pemilu berdampak kepada rendahnya tingkat partisipasi. Masyarakat tentunya akan memilih untuk tidak memilih jika taruhannya sangat besar kepada kesehatan.
Arah Permainan
Penundaan pemilihan setidaknya membangun dua hipotesis dalam kacamata ilmu politik. Hipotesis pertama, memungkinkan kandidat untuk mengkulkulasi ulang dukungan sekaligus menggaet dukungan konstituen dalam cakupan lebih luas.
Keputusan penundaan pilkades yang dikeluarkan 24 Maret dapat dikatakan langkah yang sedikit terlambat mengingat pencoblosan pilkades dijadwalkan 29 Maret 2020. Salah satu temuan kecil dari riset pilkades di Yogyakarta pada tahun 2018 yang dilakukan Research Centre for Politics and Government(PolGov), misalnya, menemukan bahwa prediksi perolehan suara masing-masing kandidat telah diketahui maksimal 3-5 hari sebelum pencoblosan.
Penundaan ini membuat kandidat yang merasa dukungannya kurang, dapat memanfaatkan waktu penundaan untuk melakukan mobilisasi dukungan lebih luas atau kampanye extra-time. Masih berkaitan dengan hipotesis pertama, hipotesis kedua yang terbangun adalah tingkat pelanggaran dalam pemilu dapat diprediksikan meningkat.
Dalam kondisi ini, sangat memungkinkan apabila pendukung A akan berubah arah dukungan kepada kandidat B. Sebabnya dapat beragam. Namun, setidaknya ada satu variabel yang sangat berpengaruh, yaitu dimensi psikologis.
Stein (2012) mencatat bahwa kondisi psikologis seseorang yang cenderung ’terguncang’ ketika menghadapi bencana tidak dapat memutuskan sesuatu dengan rasional. Sehingga, sangat mudah bagi kandidat mempengaruhi perilaku memilih seseorang, semisal dengan politik uang. Skalanya bisa individu atau kelompok.
Tergantung kekuatan finansial kandidat. Karenanya, tingkat pelanggaran diprediksi semakin meningkat jika tidak ada instrumen untuk menangani ini. Dengan dasar dua hipotesis diatas, maka dapat terlihat dua kemungkinan dapat terjadi dari keputusan penundaan pilkades.
Satu sisi memberikan perubahan arah permainan politik. Kandidat yang dahulu sempat tidak diunggulkan menjadi mungkin memenangkan kontestasi yang digelar akan datang. Sisi lainnya, memberikan kemungkinan peningkatan tindakan pelanggaran dalam pilkades, seperti politik uang.