Catatan Akhir Tahun: Quo Vadis BIN

Photo Author
- Selasa, 31 Desember 2019 | 06:36 WIB
Istimewa
Istimewa

Pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, satu-satunya lembaga negara strategis yang belum disentuh Presiden Joko Widodo adalah Badan Intelijen Negara (BIN). Konon terjadi tarik-menarik yang kuat antar-kelompok kepentingan di sekitar Presiden terkait takhta atau singgasana Pejaten-1. 

Saya tidak ingin membahas terlalu dalam tarik-menarik terkait kursi Kepala BIN. Saya hanya ingin mengulas betapa pentingnya eksistensi lembaga intelijen negara untuk mengawal, mengamankan dan melindungi negara ini.

Mari kita bayangkan negara sebesar Amerika Serikat tanpa adanya Central Intelligence Agency (CIA) atau Federal Bureau of Investigation (FBI) yang kuat dan kredibel. Konon Presiden AS, begitu bangun pagi yang dilihat pertama kali adalah laporan intelijen yang secara rutin disuplai lembaga-lembaga intelijen negara. Dari laporan intelijen itulah Presiden AS menentukan langkah dan kebijakan apa yang diambil pada hari itu.

Bagaimana dengan Indonesia? Saya berpikir hal yang sama. Karena kompleksitas masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia sangat tinggi dalam mengelola negara yang begitu banyak dinamika. Untuk kepentingan tersebut diperlukan dukungan secara penuh intelijen negara dalam memberikan suplai analisis informasi dan data akurat.

Sudahkah BIN berfungsi optimal dalam menyuplai analisis informasi dan data yang akurat sebagai dasar Presiden mengambil keputusan atau kebijakan?

Sejak Orde Baru, lembaga intelijen negara selalu dikepalai perwira tinggi TNI Angkatan Darat. Di era reformasi baru ada selingan Kepala BIN adalah seorang jenderal polisi. Kepala BIN yang sekarang pun juga seorang polisi. Sejatinya pada saat lembaga intelijen negara dipegang oleh tentara atau polisi, hal itu sudah melawan "khittah" sebuah lembaga intelijen negara yang seharusnya ber-DNA sipil. Di hampir semua negara demokrasi di dunia ini kepala intelijen negara selalu dipegang sipil.

Pedoman bertindak dan mengambil keputusan seorang tentara adalah hukum humaniter, dan kepolisian selalu tunduk pada hukum pidana. Sedangkan fungsi dasar kerja intelijen adalah tunduk pada politik negara di bawah kendali Presiden. Menilik dari hal tersebut, sebetulnya penunjukan seorang Kepala BIN dari militer atau kepolisian sudah melanggar genetika dasar sebuah badan intelijen negara. 

Di sisi lain, lembaga intelijen negara juga harus bebas dari kooptasi kepentingan kelompok atau partai tertentu. Pada saat seorang kepala intelijen negara sudah dipersepsikan oleh masyarakat sebagai representasi sebuah partai politik atau kelompok tertentu, secara otomatis 'public trust' terhadap produk atau out put kerja dari lembaga intelijen negara akan sangat rendah. 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: tomi

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X