Selama ini melihat Palestina lebih lewat rentetan berita di media cetak dan elektronik, namun kita jarang membacanya dalam konteks musik. Di kala pejuang kemerdekaan di Palestina bertarung dengan melempar batu, musisi dengan teks-teks musiknya. Di Indonesia sendiri terdapat sebuah grup musik asal Semarang bernama Nasida Ria. Kelompok musik yang eksis tahun 90-an itu menciptakan lagu berjudul Damailah Palestina (2000). Teks liriknya menceritakan tentang darah, perang dan cita-cita perdamaian.
Dengan perang dan kekejaman yang terus berlangsung, tidak menutup kemungkinan akan lahir lagu-lagu sejenis dalam waktu dekat. Atau justru sebaliknya, lagu demikian tidak lagi diminati karena tidak mambawa dampak ekonomi. Bermusik berarti berurusan dengan dunia industri, tempat di mana pamrih ekonomi menjadi hal utama yang tak dapat dikesampingkan. Akankah persoalan Palestina menggugah musisi kita untuk menciptakan musik sebagai pembelaan dan keberpihakan?
Musik telah membekukan sebuah peristiwa, menjadi saksi penting bahwa tragedi kemanusiaan pernah terjadi. Kita melihatnya bukan lagi dalam berita, foto dan gambar-gambar, tapi pada nada-nada dan lirik-lirik bersenandung pilu. Dengan musik, kita menjadi dekat dengan Palestina. Dengan musik kita adalah saudara.
Dengan musik, kita mewariskan pengisahan hari ini pada generasi yang akan datang tentang perjuangan, semangat, doa dan airmata. Dengan demikian, Palestina adalah alunan nada-nada yang tak pernah padam.
(Aris Setiawan. Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 25 Juni 2018)