DPR tak henti-hentinya ëberulahÃ. Belum selesai masalah hak angket terhadap KPK dahi kita kembali dibuat mengerut dengan disahkannya revisi atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Dalam undang-undang MD3 hasil revisi, DPR memperkuat kewenangan dan imunitasnya dengan memunculkan sejumlah pasal baru. Misalnya dalam Pasal 245 UU MD3 dinyatakan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukan anggota DPR harus atas persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Dalam Pasal 122, MKD juga diberikan kewenangan mengambil langkah hukum terhadap orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Langkah DPR dalam dua pasal ini saja sudah menunjukkan kemunduran demokrasi dan hukum sekaligus. Karena pasal ini memperpanjang dan menyulitkan langkah penegak hukum terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Terlebih lagi melibatkan MKD yang poksinya dalam hal pelanggaran etik lalu masuk ke ranah hukum sangat tidak tepat. Mengingat doktrin utama dalam hukum adalah equality before the law dan equality under the law. Setiap orang adalah sama kedudukannya di hadapan hukum, tidak boleh ada yang lebih istimewa bahkan anggota DPR sekalipun.
Ketentuan ini juga menegasikan Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 yang dikeluarkan akhir tahun 2015 lalu. Dalam Putusan MK dinyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana hanya perlu mendapatkan persetujuan tertulis presiden. Persetujuan itupun dikecualikan untuk tindak pidana khusus seperti korupsi, terorisme, dan narkotika. Maka wajar jika munculnya pasal 245 ini banyak pihak dibaca sebagai upaya DPR untuk menghindari jeratan hukum. Padahal semua orang mafhum bahwa DPR merupakan lembaga negara paling korup di negeri ini.
Kemunduran Demokrasi
Ketentuan ini juga merupakan kemunduran demokrasi. Sebab dalam negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) setiap warga negara memiliki hak untuk mengeluarkan pikiran serta kebebasan menyatakan pendapat. Namun dengan munculnya Pasal 122 yang meberikan kewenangan kepada MKD untuk mengambil langkah hukum terhadap orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Melalui ketentuan ini, maka peluang untuk mengkriminalisasi warga negara yang mengritik DPR atau anggota DPR sangat terbuka, sehingga orang menjadi takut mengambil sikap atas kebijakan DPR. Pasal ini tentu sangat berbahaya, DPR telah meletakkan anggota dan lembaganya menjadi lembaga super body dengan kedaulatan penuh. Dengan kata lain, kedaulatan tidak lagi di tangan rakyat melainkan di tangan DPR. Ketentuan sila keempat Pancasila dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah dilanggar.
Dalam disertasinya, Moh Mahfud MD menyimpulkan bahwa hukum adalah produk politik. Karena hukum adalah resultante atau kesepakatan para pembuatnya yang disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik pada saat hukum itu dibuat. Namun demikian, tidak berarti bahwa hukum hanya menurut kehendak para pembuatnya saja atau pemenuh syahwat politik pembuatnya. Hukum harus berangkat dari asas dan nilai yang hidup dalam masyarakat, dalam bentuknya yang lebih konkret, hukum tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Langkah Mundur