BERITA kekerasan dengan korban murid di sekolah, sudah acap kita dengar. Entah pelakunya guru, staf sekolah tersebut atau bahkan teman sesama siswa, akhir-akhir ini sering menghiasai berita di berbagai media cetak, audio dan audio visual. Berbagai kekerasan di sekolah sudah menjadi keprihatinan bersama, karena seakan sudah menjadi habitus sekolah. Jika selama ini kita mendengar dan melihat lebih banyak siswa yang menjadi korban, namun sebuah ironi terjadi beberapa hari lalu. Seorang guru sampai meninggal karena ulah siswa. Ia harus kehilangan nyawa karena ulah muridnya sendiri.
Menjadi pertanyaan stakeholders pendidikan, sudah beginikah perubahan perilaku yang terjadi warga sekolah. Habitus sekolah yang seharusnya menjadi tempat pendidikan, pengayomam, pembimbingan dan pembinaaan warga sekolah apakah sudah berubah? Ironis. Saat emosi, melakukan tindakan menjadi yang utama. Ada apa dengan pendidikan di Indonesia?
Pencegahan
Mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah dibutuhkan kerja sama antara sekolah, masyarakat, pemda dan kemendikbud. Upaya mencegah tindak kekerasan di sekolah, dengan memasang papan informasi tindak kekerasan di serambi sekolah. Atau guru atau kepala sekolah wajib segera melaporkan kepada orangtua, menyusun prosedur untuk mencegah tindak kekerasan, membentuk tim pencegah kekerasan. Tidak kalah penting, bekerja sama dengan lembaga psikologi, pakar pendidikan dan organisasi keagamaan untuk kegiatan bersifat edukatif.
Peristiwa pemukulan guru menjadikan organisasi profesi guru yang ada perlu segera melakukan gerakan atau petisi penegakkan supremasi hukum bagi perlindungan guru. Kesepakatan pemberian punishment (hukuman) yang mendidik. Karena kejadian pemukulan guru sudah menjadi viral, dapat menjadi tontonan sekaligus tuntunan bagi siswa lain bila sekolah atau aparat penegak hukum gamang dalam memberikan sanksi. Padahal harus diakui, peristiwa kekerasan yang dilakukan siswa terhadap guru telah menjadi ancaman bersama.
Penulis yakin seorang guru tidak akan memberikan teguran atau hukuman kepada anak didik (siswa) bila tidak dimulai lebih dahulu oleh ulah siswa yang sudah kebangeten (tidak bisa ditolerir). Alibi guru bahwa hukuman yang dilakukan kepada siswa tidak seketika. Tindakan teguran dan sanksi diberikan kepada siswa sebagai bentuk peringatan, shocktherapy agar siswa menjadi jera. Meski segala cara bentuk peringatan baik secara verbal (cemooh, umpatan) dan phisik (tamparan, jeweran) dan sanksi (skors) serta hukuman yang paling keras (dikembalikan ke orang tua) seolah-olah dianggap angin lalu.
Pada dasarnya hukuman yang diberikan kepada siswa tidak boleh lepas dari koridor hukum. Sebab peserta didik dalam kehidupannya di sekolah juga mendapat perlindungan hukum sesuai UU N0. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang sudah diperbarui dengan UU No 35/2014. Begitu pula guru dalam melaksanakan tugas profesinya juga mendapatkan perlindungan. Dalam pasal 2 ayat (1) Permendikbud no 10 tahun 2017 tentang perlindungan bagi pendidik dan tenaga kependidikan. Bahwa perlindungan sebagai upaya melindungi pendidik dan tenaga kependidikan yang menghadapi permasalahan terkait pelaksanaan tugas. Perlindungan terhadap profesi atas tindak kekerasan, intimidasi, diskriminatif, ancaman dan perlakuan tidak adil (ayat 2 dan 3).
Tanpa Pandang Bulu