Capaian itu belum optimal dan masih menyisakan tantangan lumayan berat. Tiga bukti berikut bisa disebut sebagai contoh. Pertama, fakta bahwa destinasi utama yang dirujuk wisman di Indonesia masih tetap Bali. Destinasi ‘Bali Baru’, antara lain Borobudur, Danau Toba, Tanjung Lesung, dan Mandalika, yang coba dipopulerkan masih terlalu jauh di belakang.
Kedua, fakta bahwa anggaran sektor pariwisata yang meningkat tidak diikuti kenaikan devisa secara proporsional. Tahun 2015 pagu APBN untuk sektor ini tercatat Rp 2,4 triliun dan mampu meraih devisa sebesar US $13,56 miliar. Tahun 2016 anggaran naik sebesar 75% menjadi Rp 4,2 triliun, tapi hanya berhasil mengungkit devisa sekitar 10%. Tahun 2017 pagu anggaran naik 28% menjadi sekitar Rp 5,3 triliun, tapi devisa dipatok hanya naik 3,2% dari tahun lalu.
Ketiga, proporsionalitas anggaran belanja dengan jumlah wisman juga tidak terjadi. Anggaran Rp 2,4 triliun hanya mampu menjaring 10,4 juta wisman (2015). Bahkan anggaran Rp 4,2 triliun pun hanya ‘berhasil’ mendatangkan sebanyak 12 juta jumlah wisman (2016).
Apa arti bukti tersebut? Secara sederhana artinya adalah tidak ada yang instan, apalagi di dunia pariwisata. Namun semua butuh proses dan waktu.
(Dr Janianton Damanik. Kepala Pusat Studi Pariwisata UGM. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 5 Januari 2018)