BERBICARA soal ‘ibu’, menarik untuk mencermati data Susenas 2012 yang menyatakan bahwa ‘calon ibu’ (perempuan) di negeri ini telah menikah di usia 10-15 tahun (sebanyak 11,13 %) dan yang menikah di usia 16-18 tahun (32,10 %). Fakta ini menjadi persoalan ketika International Center for Research on Woman : Impacts of Child Marriage juga menemukan bahwa setiap hari ada 41.000 pernikahan di bawah usia 18 tahun.
Di Indonesia, setiap tahun sekitar 345.000 anak di bawah usia 18 tahun menikah (atau sekitar 1.000 anak setiap hari). Remaja perempuan 15-19 tahun yang telah menjadi ibu atau sedang hamil anak pertama meningkat dari sebesar 8,5% menjadi 9,5% (SDKI 2007 dan SDKI 2012). Yang lebih mengejutkan lagi, pernikahan mereka, lebih dari separuhnya disebabkan hamil duluan! Artinya, ada kehamilan tak dikehendaki di sini.
Mendidik Anak
Fakta lain dari pernikahan ‘ibu-ibu yang masih muda’ ini disinyalir meningkatkan angka kematian balita. Bahkan juga menghasilkan banyak anak yang cebol. Jika kondisi ini bisa ditunda, akan menghemat anggaran kesehatan dan sebagainya, setara 90 miliar dollar AS. Penundaan usia kawin bisa menghemat anggaran pendidikan 5%. Pada tahun 2015 peningkatan kesejahteraan global dari mengakhiri pernikahan dini memerlukan biaya 22 miliar US dollar per tahun, dan tahun 2030 diperkirakan meningkat 566 miliar US dollar.
Apakah karena rendahnya usia nikah (yang juga diikuti rendahnya tingkat pendidikan mereka), kemudian berpengaruh terhadap keterampilannya mendidik anak-anaknya? Didasari hasil penelitian KPAI, yang menyatakan 70% orangtua belum mampu mengasuh anak mereka pakai metode yang cocok dengan zaman sekarang. Cara asuh yang dipakai para orangtua, hanya menyalin apa yang mereka dapat ketika kecil, tanpa mempelajari perubahan zaman.
Kecenderungan orangtua mendidik anak hanya berorientasi pendidikan akademik, bukan pendidikan mental dan persoalan sosial yang dihadapi anaknya. Fakta dari KPAI, 60% orangtua di Indonesia hanya menanyakan persoalan pendidikan akademik, seperti nilai, peringkat di kelas. Hanya 30% yang menanyakan persoalan sosial mereka, soal hobi, permasalahan dengan teman, status media sosial, bahkan soal reproduksi.
Kesedihan akan fakta tersebut terus berlanjut ketika ibu-ibu muda tersebut menjadi ‘dewasa’, yakni ketika para aktivis feminisme dan aktivis perempuan kini tetap suntuk untuk menyebarkan opini-opini tentang teori-teori ‘pemberdayaan perempuan’, ‘kesetaraan jender’, ‘kungkungan budaya patriarkhi’ dan seterusnya. Masih muncul citra bahwa perempuan yang tinggal di rumah adalah pengangguran dan terbelakang, sehingga teropinikan perempuan itu tak lebih dari sekadar ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur.
Direposisi