DALAM Temu Karya Sastra 2017, yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan DIY di Hotel De Laxton Yogyakarta, beberapa waktu lalu, mencuat diskusi perihal penginternasionalan Bahasa Jawa (BJ). Isu tersebut mengemuka saat sesi diskusi dengan pemateri Erlina Hidayati Sumardi dari Dinas Kebudayaan DIY, dan Laga Adhi Dharmai FIB UGM, yang membahas Penjabaran Visi Gubernur dan Visi Gubernur DIY dalam Konteks Sastra Jawa.
Alasan penginternasionalan BJ, selain karena penuturnya cukup banyak dan tersebar di seantero penjuru dunia, juga karena di ranah kebudayaan dunia, BJ memiliki kedudukan yang sejajar dengan bahasa-bahasa lain. Karena politik kebahasaan dan dalam rangka mengembangkan integrasi nasional, BJ di dalam negeri diposisikan sebagai bahasa daerah atau bahasa etnis, yakni bahasa yang digunakan oleh etnis Jawa. Tetapi di dunia internasional, BJ adalah bahasa yang memiliki kedudukan sejajar dan sama dengan bahasa-bahasa lain, seperti Bahasa Inggris, Jepang, Korea, Jerman, Italia, Spanyol dan sebagainya.
Bahwa di pelataran kebudayaan dunia BJ tidak seterkenal bahasa Indonesia, tiada lain karena untuk berbagai kepentingan ke luar, yang harus ditampilkan pertama kali adalah bahasa nasional Indonesia. BJ dalam konteks ini hanyalah bahasa kultural dan sosial.
Jumlah Penutur
Berdasarkan data yang dilansir Wikipedia, pada 2007 jumlah penutur BJ ada sekitar 82 juta. Sedangkan menurut data yang dimiliki otoritas di bidang kebahasaan di Indonesia, pada 2016 jumlah penutur BJ ada 85 juta. Dalam hal peringkat di dunia, jumlah penutur BJ ada pada peringkat 11, sementara Wikipedia menaruhnya pada peringkat 15. Peringkat 1 dipegang bahasa Mandarin, 2 Inggris dan 3 Spanyol.
Dengan jumlah penutur yang banyak dan tersebar di seluruh penjuru dunia, maka ide untuk menginternasionalkan BJ adalah ide yang sangat wajar. Diaspora orang Jawa yang masih menggunakan BJ, tidak hanya ditemukan di Suriname dan Kaledonia Baru, melainkan juga di hampir semua provinsi di Indonesia. Di provinsi-provinsi seluruh Indonesia (kecuali NTT, NTB, Bali, Kepri dan Aceh), kantong-kantong komunitas etnis Jawa mudah ditemui. Di lingkungan itu, BJ masih digunakan secara aktif dalam pergaulan sehari-hari.
Dengan adanya diaspora etnis Jawa yang semakin menggurita, didukung kemajuan di bidang teknologi informasi yang amat pesat, serta masih adanya universitas-universitas di seluruh dunia yang mengembangkan studi Indonesia dan Jawa, penginternasionalan BJ saat ini menjadi suatu keniscayaan.
Strategi