Kita percaya bahwa Tuhan menciptakan baik adanya. Hal ini terbukti manakala anak-anak usia belia sangat ceria dan lepas bebas dalam berelasi positif dengan orang lain. Semakin bertambah usia justru perilaku positif itu makin menemukan kompleksitasnya sehingga bisa berubah menjadi relasi negatif. Berbagai cap beda warna kulit, agama, suku, keyakinan, derajat, dan lain-lain kini melekat pada benak masing-masing anak. Celakanya lagi, berbagai stigma tersebut tidak sekadar dianggap sebagai keberagaman yang lumrah, tetapi menjadi pembenar untuk meminggirkan orang lain.
Keluarga dan sekolah menjadi sarana tepat membangun karakter baik tersebut. Kuncinya adalah jangan menyerah dengan pernyataan watuk dan watak di atas. Tidak hanya watuk yang dapat diobati, tapi watak juga dapat disembuhkan. Tidak ada lagi istilah gawan bayi, karena bawaan lahir hanyalah kebaikan dan bukan perilaku jahat.
Seorang anak jangan pernah diisolasi dalam ruang keseragaman. Biarlah mereka terbiasa berelasi dengan keberagaman. Sehingga jika ada permasalahan, bukan solusi menangkalah yang ditawarkan. Melainkan solusi menang-menang demi kebaikan bersama.
(Arifin Nugroho SSi MPd. Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 2 November 2017)