PEMBANGUNAN dan perubahan senantiasa membutuhkan pengorbanan. Apa yang terjadi dan dilakukan warga Desa Bapangan dan Kepek, sungguh adalah sebuah contoh bagaimana kebesaran hati warga masyarakat desa yang lugu, demi kemajuan ke arah yang lebih baik. Warga masyarakat desa ini rela pindah ke Pedukuhan Bebekan, Glagah Kulonprogo karena tempat kelahiran dan tanah di mana mereka tinggal akan dibangun bandara modern, New Yogyakarta International Airport (NYIA).
Bedhol desa warga Bapangan dan Kepek dilakukan tepat tanggal 1 Sapar 1439, sehari setelah bulan Sura terlewati. Acara bedhol desa dipimpin langsung Bupati Kulonprogo dr H Hasto Wardoyo SpOG (K). Suasana haru segera menyergap ketika warga masyarakat desa yang sudah puluhan tahun tinggal di tanah kelahirannya itu mulai meninggalkan rumah-rumah mereka. Kemudian berganti menjadi penghuni rumah baru di tempat relokasi yang lebih tertata, lebih layak dan lebih rapi.
Bagi masyarakat desa, tanah kelahiran dan desa asal memang bukan sekadar tempat tinggal. Desa, bagi masyarakat adalah tempat di mana mereka tumbuh dan berkembang dari kanak-kanak hingga dewasa. Setiap lekuk dan tekstur tanah, pohon-pohon yang tumbuh di sudut jalan, semua terasa akrab karena mereka sudah berpuluh tahun tinggal di sana. Jadi, wajar jika tidak mudah bagi warga desa asli yang sudah lama tinggal di sana, tiba-tiba harus pindah ke tanah baru yang terasa asing. Meski lokasinya berdekatan dan auranya tidak banyak berbeda dengan tempat tinggal yang lama, tetapi tetap saja ada rasa haru yang menyergap ketika mereka benar-benar harus pindah.
Ikatan Kultural
Berbeda dengan para perantau yang terbiasa menjajal kehidupan di daerah baru, dan bahkan kemudian lebih krasan tinggal di kota-kota besar yang dirasa lebih menjanjikan karier dan kesejahteraan. Bagi warga desa, tanah kelahiran adalah ikatan kultural yang tidak tergantikan. Para perantau adalah orang-orang yang terbiasa menantang hal-hal baru, menaklukkan dan kemudian dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial baru di mana mereka mengadu nasib. Sementara itu, bagi masyarakat desa, setiap perubahan seringkali dirasa mengejutkan. Ada indikasi mereka cenderung resisten terhadap perubahan. Nostalgianostalgia dan romantisme terhadap tanah kelahiran dan rumah tempat mereka dibesarkan sudah tidak lagi dapat diulangi.
Dilihat sepintas, di tempat relokasi rumahrumah mungkin tampak lebih mewah dan menjanjikan. Tetapi, bagi warga masyarakat desa, rumah sesungguhnya bukan sekadar tempat tinggal untuk beristirahat. Atau tempat sanakkeluarganya tidur seperti dimaknai masyarakat urban yang tinggal di kompleks permukiman baru di berbagai pinggiran kota. Rumah, bagi warga desa adalah tempat mereka memintal jaringan sosial, membangun komunikasi dengan sesamanya, dan sekaligus tempat untuk mengembangkan aktivitas ekonomi bagi keluarganya. Mungkin perlu dikaji, bagaimana kondisi relokasi.
Pertama, sejauhmana rumah-rumah baru di tempat warga direlokasi telah mempertimbangkan kebutuhan warga untuk dapat mengembangkan aktivitas ekonomi bagi keluarganya. Pertanyaan ini penting dikaji, sebab berbeda dengan kelas menengah urban yang hanya memfungsikan rumah sebagai tempat beristirahat, bagi masyarakat desa rumah adalah tempat tinggal sekaligus tempat usaha. Rumah bagi warga desa umumnya tidak terpisah dengan kantor atau tempat di mana mereka bekerja seperti layaknya penduduk kota yang merupakan pekerja kantoran. Rumah, bagi warga desa adalah tempat mereka membesarkan anak, sekaligus mengembangkan aktivitas ekonomi untuk menambal kebutuhan hidup.
Desain