MEDIA sosial mulai menjamur dan terus bertumbuh sejak awal tahun 2000-an. Mulai dari Friendster kemudian Facebook lantas Instagram dan Path. Kemajuan teknologi selalu menghadirkan dua sisi mata uang positif dan negatif. Kini hampir semua individu memiliki akun media sosial, bahkan beberapa akun sekaligus. Saat ini media sosial dengan pengguna paling banyak adalah Geogle+ dengan 1,6 miliar pengguna,disusul Facebook dengan 1,280 miliar.
Sedangkan Twitter dengan 645.750.000 pengguna, Instagram tercatat memiliki 415 juta pengguna dan sedangkan Path dan Vine masing-masng 30 juta dan 25 juta pengguna. Di Indonesia tercatat ada sekitar 50 juta pengguna Facebook. Jumlah ini terbanyak kedua setelah Amerika Serikat. Dan anak-anak dalam posisi rentan terkait penggunaan media sosial. Saat ini sesuai aturan Children Online Privacy Protection Act (COPPS) situs internet tidak boleh mengumpulkan informasi pada anak di bawah 13 tahun (bdk Novyana Handayani, 2015).
Lebih Rentan
Meski ada aturan yang melarang, tidak sedikit anak yang memiliki akun media sosial. Baik yang dibuat oleh mereka sendiri maupun dibuatkan orang lain. Selain untuk pertemanan mereka membuat akun untuk menikmati game dan permainan yang disediakan media sosial. Anak yang memiliki media sosial lebih rentan terhadap kekerasan seksual dan risiko penculikan anak. Sebagian predator anak menggunakan akun media sosial untuk mencari korban.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat 27 dari 129 kasus penculikan anak yang dilaporkan pada mereka diyakini melalui perkenalan di Facebook. Tidak hanya rentan terhadap penculikan yang berdampak pada kekerasan seksual media juga berdampak pada kejiwaan anak-anak. Tidak jarang foto-foto vulgar beredar di jejaring sosial. Tak hanya itu kebebasan di dunia maya membuat pengguna akun media sosial merasa berhak mengunggah fotofoto yang menurut mereka update dan layak diketahui orang lain meski mengandung materi kekerasan atau pornografi.
Upaya melawan segala bentuk kekerasan yang belakangan ini dikampanyekan ini tidak hanya di dunia nyata tetapi juga di media sosial. Orangtua dan keluarga berada di garda terdepan karena mereka lebih banyak waktu berinteraksi dengan anak. Menjauhkan anakanak dari gadget, karena bermain dengan motorik melalui alat permainan nyata jauh lebih bermanfaat ketimbang gadget. Meski keberadaan media sosial tidak terhindarkan sikap hati-hati dan waspada perlu dilakukan.
Program ‘1821’
Ini sejalan dengan adagium untuk merusak anak hanya dibutuhkan waktu 1 menit sementara untuk membangun anak yang baik diperlukan kerja sama sekampung. Di era media sosial untuk menghancurkam masa depan anak mudah dilakukan. Literasi media sosial harus dimulai dari komunitas terkecil seperti keluarga, sekolah dan masyarakat dimana orang-orang dekat diajak untuk mempergunakan media sosial untuk tujuan-tujuan yang positif.