Sekolah dan orangtua misalnya bisa melakukan dengan meningkatkan pengawasan ketika anak mencari informasi di internet bahan-bahan mengerjakan pekerjaan rumah atau tugas sekolah. Keluarga dan sekolah menjadi ujung terdepan memberikan literasi media sosial kepada anak-anak. Komunikasi dalam keluarga perlu dibangun. Bahkan di keluarga perlu membuat aturan misalnya dengan program ‘1821’ yakni mematikan televisi dan gadget pada jam 18.00 - 21.00, mendorong anak-anak belajar atau beribadah dan orangtua mendampingi.
Begitu juga anak-anak perlu diajari ketika mengunggah status. Menyaring yang akan disharingkan adalah tindakan bijak agar informasi yang dibagikan benar-benar terkonfirmasi. Atau berani menghapus tayangan-tayangan atau konten yang tidak ramah anak. Literasi media sosial macam itu sekarang dibutuhkan khususnya kepada orangtua dan anak-anak. Orangtua juga - perlu belajar dunia media sosial dan seluk beluknya demi anak-anak mereka.
Anak-anak produk modernisasi memang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dengan cara berbeda. Dan itu menuntut tanggung jawab yang lebih besar pula dari orangtua, lingkungan sekitar. Kemudahan yang ditawarkan media sosial harus dibayar mahal ketika anakanak kita terjerumus ke dalamnya.
Anak-anak harus dilindungi dari penetrasi buruk media sosial yang merugikan perkembangan mereka. Ketika media sosial menjadi ajang kekerasan baru, saatnya kita lebih bijak dalam menggunakan media itu untuk perlindungan anak.
(Paulus Mujiran AMK SSos MSi. Penulis buku ringkas Konvensi Hak Anak, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 12 Oktober 2017)