MIRIS, membaca pernyataan Kepala BNN Budi Waseso bahwa bandar narkoba kini menyasar anak-anak TK dan SD untuk dijadikan target pemasaran, dengan menyediakan 10% narkoba miliknya untuk disebarkan gratis kepada anak-anak tersebut. Tujuannya pasti, 10% ini ‘investasi’ besar di masa mendatang. Karena akan membuat anak-anak itu ketika dewasa menjadi pecandu. Bisnis narkoba memang menggiurkan semua pihak, termasuk bagi para oknum.
Jangankan narkoba untuk kelas atas. Omzet pil koplo yang tertangkap di Sulawesi kemarin saja mencapai Rp 11 miliar perbulan. Bisnis ini tidak akan lancar jika tidak didukung ‘mafia’ besar yang melibatkan oknum atau upeti.
Harmoni
Ini adalah sebuah proxy war. Untuk menguasai suatu negara besar seperti Indonesia, tidak harus melalui kekuatan senjata, yang notabene akan banyak menguras energi, namun cukup cekok-i bangsa itu dengan narkoba, pornografi, dan isu agama. Dari pemikiran suudzon tersebut akhirnya kita harus bisa menjaga diri dan keluarga secara aktif dan mandiri melalui ketahanan keluarga dan ketahanan sekolah. Yang menjadi masalah, ketahanan keluarga di zaman IT ini sudah mulai tercerai berai.
Tulisan Sindhunata di Majalah Basis No.07- 08/2006 yang mengutip hasil penelitian Arlie Hochschild (2002) dalam bukunya Keine Zeit (artinya ‘Tidak Ada Waktu’) nampaknya juga kini terjadi di negeri ini. Hochschild melakukan penelitian pada tahun 1990-1993 dengan cara penukar peran secara permanen antara pekerja/karyawan untuk menjadi ibu/bapak dalam keluarga.
Dalam penelitian ini Hochschild ingin mengetahui apakah orang tersebut benar-benar berhasil membuat harmoni antara mencari uang dan hidup dengan anak-anaknya. Hasilnya para bapak/ibu tersebut mengeluh. Karena merasa tidak ada waktu yang cukup buat melayani dan mendidik anak-anaknya. Seakan hidup di alam kemoderenan menuntut waktu yang sangat banyak untuk berkarier. Ketika melayani anakanaknya, seakan ‘merepotkan’.
Yang terjadi kemudian tugas mendidik anak diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Kalau anaknya tidak berhasil dalam menempuh kehidupan atau setidaknya terlihat nakal, maka sadar atau tidak, pihak sekolah yang disalahkan. Padahal mereka hanya sibuk mengejar karier atau bekerja tanpa mengenal lelah. Kenyataan ini merupakan buah kehidupan keluarga di zaman moderen ini yang banyak mendatangkan stres, terutama bagi anak- anak, karena perubahan pola kerja para orangtua. Dalam artikelnya yang berjudul Go East Young Man dalam ‘Far Eastern Economic Review (1994)’, Mahbubani menunjukkan gejala retaknya social order di Barat seperti peningkatan angka bunuh diri, kehamilan di luar nikah, perceraian, kriminalitas, narkoba dan lainnya.
Padahal salah satu pertahanan Bangsa Indonesia yang hebat adalah karena kesungguhsungguhan mereka dalam berkeluarga dan membangun rumah tangga. Mereka mungkin munafik dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi rata-rata mereka sangat serius, mendalam, sungguh-sungguh dan khusyu’dalam hal berkeluarga dan berumah tangga.