KOLOM komentar pada salah satu foto di akun media sosial Ezra Walian tiba-tiba penuh cemoohan sesaat setelah dirinya ditarik ke luar lapangan dan digantikan Osvaldo Haay dalam laga semifinal cabor sepakbola putra SEA Games 2017. Ezra dianggap sebagai biang kekalahan Indonesia atas Malaysia. Laga yang berakhir 1-0 untuk Malaysia itu menandai kegagalan timnas Indonesia.
Medali emas terakhir bagi Indonesia pada cabor sepakbola putra dalam SEA Games terjadi pada tahun 1991. Itu pun sudah duapuluhlima tahun lalu. Sejak itu, prestasi terbaik sepakbola Indonesia hanyalah meraih medali perak pada SEA Games 1997 dan 2011 serta runner-up dalam ajang Piala AFF 2000, 2002, 2004, 2010, dan 2016. Negara sebesar Indonesia kesulitan mencari 11 pemain hebat di antara 250 juta penduduk. Sialnya, rentetan kegagalan tak pernah menjadi alasan untuk memperbaiki diri. Sungguh ironi.
Dipenuhi Masalah
Pertanyaannya, apa yang dilakukan PSSI selama dua setengah dekade sejak medali emas SEA Games 1991 dikalungkan kepada Aji Santoso dan kompatriotnya? Sejak awal 2000-an sepakbola Indonesia hanya dipenuhi masalah. Mulai dari Nurdin Halid yang memimpin dari balik jeruji besi, hingga dualism federasi yang mengakibatkan turunnya sanksi FIFA kepada PSSI. Dicabutnya sanksi FIFA atas sepakbola Indonesia pada 2016 juga tak membuat olah raga ini menjadi lebih baik.
Kepemimpinan Edi Rahmayadi pada awalnya memberikan secercah cahaya. Namun apa daya, sistem liga yang bobrok sudah mengakar kuat dan tak jua diubah. Buktinya sederhana. Masih ada saja tim yang menunggak gaji pemain selama berbulan-bulan. Bahkan beberapa pemain Persegres rela bermain bersama tim amatir demi sesuap nasi.
Tim SEA Games 2017 ini pun merupakan ‘hadiah’ dari regulasi. Di awal musim Liga Indonesia Baru selaku operator liga mewajibkan seluruh tim di Liga 1 untuk menurunkan pemain di bawah 22 tahun dalam setiap pertandingan. Buntut regulasi ini, banyak pemain yang ditunjuk Luis Milla sebagai kontingen SEA Games 2017 dapat menembus skuat utama tim Liga 1 hanya karena regulasi bukan karena kemampuan mereka di atas pemain lain yang lebih tua. Bagaimana bisa kita berharap banyak dengan tim nasional yang dibentuk dengan cara tersebut? Sementara kultur fanatisme supporter terhadap tim jagoan yang setara dengan kelompok ultras Eropa hanyalah bingkai yang menutupi keburukan sepakbola Indonesia.
Inilah wajah sepakbola kita. sepakbola Indonesia memiliki semangat yang meledakledak. Banyak warganya yang menempatkan sepakbola di atas segalanya, bahkan terkadang kelewat batas kemanusiaan. Gairah tersebut hanyalah sebatas keinginan menonton sepakbola tanpa ada kemauan kuat untuk memajukan dan memperbaiki cabang olahraga ini.
Dongeng