ULANG tahun TVRI sebagai televisi milik publik kembali dirayakan hari ini, 24 Agustus. Pertanyaan utama bagaimana posisi dan masa depan lembaga penyiaran ini juga terus mengemuka. Seiring makin dominannya televisi swasta dalam arsitektur penyiaran nasional dan transformasi teknologi produksi dan resepsi siaran ke arah total digital yang memanjakan pemirsa, khususnya kalangan muda. Tulisan ini ingin mengulas salah satu problem besar yang menyebabkan krisis kepercayaaan atas TVRI, dengan merujuk pada konsepsi dasar tentang lembaga penyiaran publik yang berlaku secara universal.
Dari sekian aspek tata kelola penyiaran publik, relasi antara pengelola televisi dengan pemirsa atau penonton menjadi kunci keberhasilannya bertahan dan melakukan transformasi layanan siaran. Kesalahan dalam memahami posisi pemirsa dalam berbagai tingkatan, sejak undang-undang penyiaran hingga di benak broadcaster yang bekerja di TVRI menyebabkan kesalahan lebih lanjut pada kebijakan operasional siaran. Pada akhirnya, posisi TVRI makin berjarak dengan pemirsanya dan mudah ditinggalkan.
Pemilik
Diskursus posisi khalayak terhadap televisi siaran di kalangan akademisi penyiaran dunia (Jakubowics, 2008; Smith, 2012; Brevini, 2016) mengerucut pada dua rumusan posisi. Pertama, bagi TV komersial, khalayak adalah penonton yang dijual, aspek kuantitatif menjadi ukuran, mereka dieksploitasi bukan diedukasi. Kedua, bagi pengelola televisi publik, publik adalah warga negara yang memerlukan edukasi, mereka juga pemilik yang berhak atas akses informasi, kontrol dan eksekusi. Sebagai ilustrasi, dua institusi penyiaran publik dunia yang kerapkali menjadi rujukan: BBC Inggris dan NHK Jepang menerapkan tata kelola partisipatif melalui tiga bentuk: seleksi terbuka atas keanggotaan Dewan Penyiaran (Trust); perencanaan siaran yang melibatkan Dewan Khalayak; pembentukan Ombudsman. Lebih jauh, publik bisa mengakses seluruh informasi manajemen lewat media daring.
Mengikuti logika ini, maka sejatinya hubungan TVRI dengan khalayaknya jauh lebih paripurna dibandingkan hubungan televisi swasta dengan penontonnya. Publik dalam benak seluruh broadcaster di televisi tertua ini adalah teman tapi mesra. Mereka merupakan pemilik TVRI melalui dua bentuk partisipasi: membayar pajak rutin yang kemudian bertransformasi menjadi APBN tahunan untuk TVRI dan sekaligus penikmat produk akhir tayangan yang berkualitas.
Bagaimana posisi ideal publik ini diterjemahkan? Ada tiga formula. Pertama, dengan menyajikan konten siaran berdasarkan suatu riset yang dilakukan sebelum acara diproduksi dengan mengadopsi teknologi mutakhir. Kedua, pelibatan dalam struktur organisasi tertinggi, misalnya Dewan Pengawas atau Ombudsman siaran. Ketiga, pembentukan Dewan Khalayak atau forum konsultatif yang terdiri dari para perwakilan tokoh publik, aktivis sosial, akademisi dan pemerhati penyiaran. Pada BBC, lembaga ini bernama Audience Council yang dibentuk berdasarkan undang-undang (Royal Charter, 2006). Posisi audience council bukan fans club, tetapi forum pengambilan keputusan yang harus diikuti.
Kondisi TVRI
Mencermati dinamika TVRI sejak 2002 hingga sekarang, proses transformasi menuju televisi yang ramah dan terbuka bagi publik selaku pemilik sejati belum berjalan baik. Dari segi perencanaan program, tampak sekali masih menganut spirit pelayanan kepada negara cq. pemerintah pusat dan daerah. Pendekatan produksi siaran yang selalu menghadirkan pejabat publik, Jakarta sentris atau fokus produksi siaran di arena pusat pemerintahan menjadi bukti lemahnya orientasi untuk hadir ke tengah publik, bersama publik sejak memproduksi hingga menayangkannya. Secara khusus, Rumah Perubahan LPP (organisasi non profit untuk advokasi perubahan tata kelola TVRI) mencatat keengganan pimpinan TVRI terlibat advokasi masyarakat sipil terhadap RUU RTRI dalam 5 tahun ini.