KYOSAKI menyatakan ‘If you want to be rich and happy, don’t go to school’. Bagi Kyosaki, pendidikan selama ini tidak mampu memberikan bekal bagi peserta didik untuk menghadapi kehidupan nyata. Meskipun terkesan mempersempit makna hidup dengan mencari kekayaan materi, tetapi ungkapan tersebut sangatlah menarik. Sementara Mochtar Bukhori mengatakan, pendidikan yang baik seharusnya dapat mengantarkan peserta didik mampu menghidupi diri sendiri, menjadikan hidupnya bermakna, dan dapat memulyakan kehidupan.
Bagaimana dengan pendidikan di negara kita? Mampukah pendidikan kita mengantarkan peserta didik untuk hidup sejahtera dan bahagia, mampu menghidupi diri sendiri, mampu memulyakan kehidupannya? Menilik apa yang terjadi di sekolah kita selama ini sepertinya masih terlalu jauh untuk menjawab ‘mampu’ atas pertanyaan tersebut. Praksis pendidikan yang terjadi selama ini masih terlalu dominan mengasah kemampuan kognitif pada tataran elementer. Capaian pembelajaran yang ditargetkan masih dominan kuantitatif.
Pendidikan Bermakna
Belajar di sekolah dimaknai ‘proses memperoleh’ pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Sehingga seorang peserta didik dari tidak tahu menjadi tahu, dari kurang terampil menjadi terampil, dan dari kurang jujur menjadi jujur. Agar peserta didik ‘memperoleh’ pengetahuan, keterampilan, dan sikap maka seorang pendidik harus ìmemberi’. Akibatnya yang dominan aktif dalam proses pembelajaran adalah pendidiknya. Peserta didik cenderung pasif tidak ada inisiatif yang berakibat pada daya kreasi, inovasi, dan produksinya menjadi tak terasah.
Belajar di sekolah semestinya harus dimaknai sebagai sebuah ‘proses membangun’ pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Atas pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibangunnya itu seorang peserta didik akan menjadi mengerti, terampil, mandiri, inovatif, kreatif, produktif, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab. Agar terjadi ‘proses membangun’ seorang pendidik harus mengubah perannya dari penceramah menjadi fasilitator dan motivator, dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar yang tersedia secara kontekstual. Jika hai ini terjadi di sekolah, maka inilah salah satu indikator ‘pendidikan bermakna’.
Pendidikan bermakna secara konseptual merupakan kombinasi antara pedagogi kritis dan pendidikan partisiparotis. Pedagogi kritis berarti berwatak kritik, dalam arti proses pendidikan harus emansipatoris, yaitu membebaskan dari struktur-struktur buatan manusia yang mengekang baik itu pada tingkat produksi pengetahuan maupun praksisnya. Sementara itu pendidikan partisipatoris sebuah proses pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif dalam membangun pengetahuan, keterampilan, dan sikap agar mampu menyelesaikan persoalan aktual yang dihadapi sehari-hari.
Akan tetapi pendidikan bermakna yang bersumber dari kedua konsep besar tersebut belum cukup. S Bayu Wahyono menyatakan, proses pendidikan baru bisa disebut pendidikan bermakna jika bersifat historis dan sesuai dengan kondisi sosio-kultural Indonesia serta memiliki daya antisipatif visioner. Historis artinya, pendidikan mesti berangkat, berproses, dan berantisipasi secara dialektik dari pergulatan bangsa ini sejak mengenal peradaban, hingga kekinian, dan masa depan. Sementara itu sesuai kondisi sosio-kultural mengandung makna bahwa setiap proses pendidikan mesti berangkat dari sosio-kultur bangsa ini secara dinamik dan dialektik. Jika bangsa ini berkultur agraris-maritim misalnya, maka proses pendidikan bermakna mesti menjadi bagian dari upaya mengembangkan kompetensi yang dibentuk dan sekaligus membentuk budaya agraris-maritim secara cerdas dan kreatif.
Daya Tawar