Bandara dan Risiko Tsunami

Photo Author
- Jumat, 11 Agustus 2017 | 23:57 WIB

BAGI manusia Indonesia, tantangan menangani risiko bencana sangatlah besar. Bukan saja karena bumi Indonesia menyimpan hampir semua jenis ancaman bencana. Tapi juga karena kejadian berbagai bencana di Indonesia selama ini terbukti selalu berulang, menimbulkan kerugian baik harta maupun jiwa yang sangat besar. Untuk tsunami, menyaksikan atau mengalami bencana tsunami Maumere 1992, Banyuwangi 1994, Pangandaran 2006, Mentawai 2010 dan terutama Aceh, sudah pasti traumatis.

Kabar ditemukannya bukti pernah terjadinya tsunami raksasa di selatan Jawa 300 tahun lalu, boleh jadi memunculkan kembali trauma. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu secara pasti sebesar apa sesungguhnya risiko ini. Tidak BPBD, tidak juga BNPB.

Berapa juta jiwa sesungguhnya yang terancam? Berapa korban jiwa dan luka-luka yang bisa timbul? Berapa triliun kerugian yang bisa diakibatkannya? Kita hampir tidak punya data sama sekali.

Analisis Risiko

Jika tsunami ini terjadi di masa datang, akankah kerugian dan kerusakannya akan mengakibatkan perekonomian Indonesia mengalami kelumpuhan? Padahal risiko inilah musuh yang harus kita taklukkan. Lalu bagaimana kita akan mengalahkannya jika kita tidak tahu siapa sesungguhnya musuh kita, berapa jumlahnya, ada di mana saja, senjata apa saja yang dibawanya?

Ini tidak saja berlaku untuk risiko bencana tsunami di selatan Jawa tapi juga untuk semua risiko bencana di seluruh Indonesia.Tanpa didasarkan kepada analisis risiko yang dilakukan dengan seksama, kegiatan apa pun yang dilakukan atas nama pengurangan risiko bencana adalah tindakan membabi buta. Tanpa analisis risiko yang seksama, kita tidak pernah tahu berapa persen sesungguhnya kontribusi dari kegiatan pengurangan risiko bencana terhadap penurunan risiko bencana. Jika satu unit tempat evakuasi sementara dibangun, satu rambu evakuasi dipasang, satu unit sirine peringatan dini ditegakkan, seberapa besar kontribusinya terhadap pengurangan risiko tsunami di suatu tempat?

Kita tidak pernah tahu berapakah sesungguhnya penurunan risiko tsunami dan risiko bencana lainnya di Indonesia, setelah triliunan rupiah digelontorkan negara atas nama proyek pengurangan risiko bencana hingga saat ini. Akibatnya, kegiatan pengurangan risiko itu bukan saja berpotensi tidak efisien tapi sekaligus juga tidak efektif.

Berbagai isu mengemuka menumpangi berita ditemukannya bukti terjadinya tsunami raksasa 300 tahun lalu di selatan Jawa. Salah satunya adalah munculnya kembali tuntutan dari beberapa pihak untuk menghentikan proyek pembangunan bandara Kulonprogo dengan menjadikan ancaman bencana tsunami sebagai alasan pembenarnya. Dari perspektif risiko tsunami, baik tuntutan ini maupun alasan perlunya proyek Bandara Kulonprogo, sama-sama tidak memiliki landasan yang kokoh.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X