Manuver Patron Politik

Photo Author
- Selasa, 1 Agustus 2017 | 14:35 WIB

PERTEMUAN antara SBYdan Prabowo tentu melahirkan spekulasi politik, dengan berbagai implikasi. Nampak jelas panggung politik Indonesia, hingga hari ini, masih dikuasai orang-orang lama. Mereka pun, manuver lompat ke sana kemari, dengan modusmodus sekadar mengamankan gerbongnya.

SBY sempat berseberangan dengan Prabowo kira-kira hubungan menegang pada tahun 2009, lalu pasca Pemilu 2014 Jokowi sempat berkomunikasi secara simbolik dengan Prabowo yang kemudian melahirkan kecemburuan SBY. Sampai-sampai SBY sempat mengeluh susah ketemu Jokowi. Beberapa bulan pada awal tahun 2017, kesampaian juga pertemuan SBY dengan Jokowi.

Kini secara simbolik SBY nampak akrab dalam satu blok dengan Prabowo. Itulah yang disebut tunggang langgang. Gejala lama, dimana publik disuguhi para patron bermanuver kian menegaskan pola politik neopatrimonial dan corak oligarkhi yang masih kental. Kini, manuver antara dua patron politik — SBY dan Prabowo — dipicu keputusan DPR yang mengesahkan UU Pemilu. Ini terkait ambang batas presiden ataupresidential threshold 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara nasional, berdasarkan hasil Pilpres 2014."Apa yang makna maneuver itu? Adakah hubungannya dengan demokrasi ke depan?

Tarik menarik dua blok politik, yang satu mengusul 20% dan satunya 0%, tidak lain kian menegaskan keinginannya untuk saling mengamankan posisi partainya masing-masing dalam Pilpres 2019. Itu logis, dan mereka pragmatis saja. Sayangnya, mereka lupa bahwa pemilu itu dirancang tidak sekadar proses pembentukan struktur parlemen dan lembaga kepresidenan. Namun lebih-lebih perlu memikirkan seberapa jauh representasi politik menggambarkan proyeksi demokrasi yang berkualitas.

Pada saat membahas UU Pemilu tidak pernah terpikirkan bagaimana memperbaiki praktik-praktik pemilu yang masih curang. Apalagi memikirkan para kandidat anggota parlemen yang tidak kredibel, partisipasi pemilih yang masih semu, serta ragam keluhan mengenai mahalnya biaya politik yang akhirnya menjebak politisi untuk korupsi.

Sengkarut semacam ini menandakan terjadi gap, antara rekayasa teknokratik sistem pemilu dengan kualitas parpol yang belum beranjak dari masalah lama. Perselisihan parlementarydanpresidensial thresholdkemungkinan akan terus terjadi tiap lima tahun dalam membahas UU Pemilu. Dengan demikian, bukan mustahil lima tahun lagi kemungkinan UU Pemilu juga akan diubah kembali menyesuaikan blok baru yang bakal terbentuk kelak.

Apapun keputusan yang dihasilkan parlemen bersama pemerintah sejak terbitnya UU Pemilu itu, akan menjadi instrumen yang bakal dioperasikan 2019 kelak. Pertanyaannya, sekalipun dengan nada agak pesimis, peluang apa yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat, dalam hal ini pemilih? Agar Pemilu 2019 tidak kian memburuk kualitas demokrasinya ke depan?

Masih ada waktu 1,5 tahun buat pemilih untuk berfikir, agar dirinya menjadi subjek yang aktif, tidak sekadar menjadi penonton dari proses politik electoral. Salah satu ide yang perlu dipikirkan adalah perlunya membentuk blok politik pemilih, sebagai penyeimbang 2 blok politik partai sebagaimana digambarkan di atas.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X