SEPAKBOLA Indonesia mulanya lahir sebagai alat pemersatu. Sarana pribumi menghempas congkak-culas imperialism benua biru. Sepakbola Indonesia dulunya merupakan wahana ampuh peregas sekat suku. Mode jitu mewujudkan kebhinnekaan yang bersatu-padu.
Kini, sepakbola seakan telah menjelma menjadi ‘lebih dari sekadar olah badan’ atau ‘lebih dari sebatas permainan’. Sepakbola acapkali diamanati sebagai penjaga muruah dan kehormatan. Tak ayal jika kemenangan, kebanggaan, dan kejayaan kerap ditahbiskan sebagai cita-cita utama sedangkan fair play dan sportivitas hanya dianggap sebagai slogan utopia.
Sepakbola merupakan wahana yang kuasa mempersuakan dua golongan dalam entitas massa yang besar. Tak heran, sepakbola kerap dijadikan ajang pelampiasan pelbagai friksi yang terjadi di luar lapangan. Rivalitas antarsuporter di Indonesia acapkali diejawantahkan dengan salah kaprah. Suporter dianggap bernyali jika berani membuat onar dikandang lawan. Aksi sweeping, kerusuhan, dan tawuran, adalah modus operandi banal yang dianggap sebagai mode halal demi menjaga ‘kehormatan’. Sebagaimana kerusuhan suporter yang marak menghiasi kancah persepakbolaan Indonesia dewasa ini.
Dalam bulan ini saja, setidaknya terjadi empat kericuhan suporter, yakni pasca-pertandingan Persis vs PSIS (Kamis, 6/7), PSIR vs Persis (Minggu, 16/7), Persib vs Persija (22/7), dan yang masih hangat adalah laga Persiba kontra PPSM (24/7). Tragisnya, meski korban terus berjatuhan, tetap saja belum bisa menstimulan terciptanya refleksi perdamaian. Alih-alih melakukan mawas diri. Jatuhnya korban justru direspons dengan upaya pembalasan dendam.
Biang Bentrok
Menurut Ekkers dan Hoefnagels (1972), salah satu pemicu utama kericuhan dalam pertandingan sepakbola adalah attitude pemain di lapangan. Tindak-tanduk pemain, baik gesture maupun tutur, berpengaruh signifikan terhadap pola perilaku suporter. Pertandingan yang berjalan sportif akan membuat iklim tribune turut kondusif. Sebaliknya, pertandingan yang keras, kasar, dan sarat kontroversi berpotensi memprovokasi suporter untuk melakukan tindakan serupa. Wasit memiliki peran sentral dalam menjaga kondusivitas pertandingan, yaitu dengan menjadi pengadil yang fair, objektif, dan pantang menerima suap. Dengan demikian, untuk mereduksi potensi kerusuhan, baik pemain maupun wasit harus benar-benar mencamkan bahwa fair play bukan sekadar slogan seremonial yang dibentang di awal pertandingan.
Solusi
Sementara dalam teori psikologi sosial, frustrasi dalam hidup masyarakat adalah akar dari perilaku agresif suporter. Sindhunata, dalam buku Air Mata Bola (2002), menyatakan hal senada bahwa pertandingan sepakbola kerap dijadikan alat penyalur agresivitas. Pasalnya, sepakbola kuasa mempersuakan dua kelompok berbeda yang saling bertentangan dalam kuantitas yang sarat. Namun demikian, fenomena kerusuhan oleh suporter di Indonesia merupakan permasalahan kompleks yang tidak disebabkan faktor tunggal. Apalagi mentalita hooliganism ditiru secara total tanpa filtrasi oleh beberapa suporter.