Perlu ada ikhtiar yang massif untuk mereduksi bentrokan antarsuporter sepakbola. PSSI harus mulai merumuskan formula untuk mencipta suporter yang bajik. Selama ini, PSSI lebih gemar menempuh cara represif dengan mengumbar sanksi terhadap suporter yang berulah. Alih-alih jera, sanksi yang diberikan PSSI acapkali direspons apatis.
Karenanya, PSSI sebaiknya tidak hanya mengumbar sanksi saja, melainkan juga turut serta dalam mengedukasi suporter. PSSI seyogianya juga turut memfasilitasi upaya rekonsiliasi antarsuporter yang terlibat friksi. Dengan demikian, upaya preventif (mengedukasi dan memfasilitasi perdamaian suporter) dan represif (sanksi tegas bagi setiap kerusuhan) dapat berjalan beriringan untuk mewujudkan kondusivitas relasi antarsuporter.
Faktor fundamental lain yang perlu dibenahi adalah mentalitas supporter dalam memaknai rivalitas. Stigma pandir harus lekas disingkir. Suporter harus wawas diri bahwa pengejawantahan rivalitas harus berorientasi pada prestasi - bukan saling melukai dan mencederai.
Rivalitas, jika diwujudkan dengan keonaran dan bentrokan, hanya akan bermuara pada sanksi yang merugikan tim. Oleh karena itu, pengurus supporter juga mesti mengedukasi anggotanya untuk meredefinisi makna rivalitas. Persaingan dan kompetisi cukup diwujudkan selama 90 menit dengan aduk reasi di tribune. Selepasnya, supporter harus kembali bakupeluk dan bakujabat dalam kelindan persaudaraan.
Sepakbola harus kembali pada khitahnya, yakni sebagai pemersatu bangsa! Dan supporter adalah garda sentral penjaga muruah sepakbola.
(Ardian Nur Rizki SSos. Alumni UNS, pemerhati subkultur tribune yang kini sedang menempuh studi di UNY. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 26 Juli 2017)