Sudah Waktunya

Photo Author
- Rabu, 19 Juli 2017 | 10:54 WIB

ENTAH berapa banyak orang yang mengantisipasi (atau malah menunggu) kabar itu: Setya Novanto (SN) dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Saya sedang bersiap mengisi sebuah acara training pelatihan tentang politik bersih di Aceh, ketika kabar itu datang lewat sebuah pesan di whatsapp. ”SN tersangka korupsi e-KTP. Siap-siap bakal banyak kejutan,” demikian bunyi pesan itu.

Bagi saya, kabar itu adalah berkah, karena bisa digunakan sebagai bahan diskusi di pelatihan yang saya isi. Pada peserta pelatihan saya tanyakan: ”Apa persamaan antara nama-nama berikut ini: Suryadharma Ali, Luthfi Hasan Ishaq, Anas Urbaningrum, dan Setya Novanto?”

”Ketua partai”, jawab beberapa peserta. ”Pejabat negara”, kata yang lain. ”Koruptor”, lanjut mereka. ”Tahanan KPK”, itu yang paling disepakati. Banyak kesamaan yang dimiliki keempat nama itu. Tapi saya mengingatkan pada peserta bahwa ada perbedaan antara SN dan ketiga orang lainnya. SN adalah politisi yang sangat licin dan tak mudah dijatuhkan seperti ketiga nama itu. SN adalah orang yang sangat prigel.

Sejumlah media massa sudah menurunkan laporan investigatif terkait keterlibatan SN dalam dugaan korupsi e-KTP sejak beberapa tahun lalu. Namanya juga kerap muncul di sejumlah kasus korupsi lain selama beberapa tahun terakhir. Dosa-dosa politik SN tak kurang-kurangnya diekspose di media. Gaya hidupnya yang supermewah menjadi bahan gosip di media sosial. Sandungan politik memaksa dia mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketua DPR RI pada tahun 2015. Tapi karier politik dia tak mudah dibuat surut. Dia sanggup bangkit dan kembali lagi, memegang kendali penuh di Golkar tanpa gangguan berarti. Dia selau nampak lebih sulit dijatuhkan ketimbang Akbar Tanjung, yang kata Tomsa [2006] sangat kuat namun akhirnya jatuh karena mengabaikan tumbuhnya kekuatan politisi-politisi lokal di Golkar.

Tapi SN ternyata tidak benar-benar kebal terhadap hempasan angin politik. Kali ini KPK sanggup menjadikannya tersangka. Terlepas dari kasus korupsinya yang masih memerlukan proses hukum berliku (plus hambatan politik berat karena menyenggol nama-nama lain yang tengah berkuasa di beberapa daerah), ditetapkannya SN sebagai tersangka adalah kesempatan besar bagi Golkar untuk bersih-bersih diri.

Golkar punya potensi untuk menjadi parpol modern yang kuat dan terlembaga. Akbar Tanjung berhasil melepaskan partai ini dari sebuah belenggu serius: dominasi para jenderal yang telah berlangsung seumur hidup sejak berdiri. Golkar pada mulanya diniatkan untuk menjadi alat elektoral bagi kepentingan militer. Pemilu-pemilu Orde Baru dimenangkan Golkar dengan penyalah-gunaan wewenang oleh dua kekuatan utama dalam tubuh partai ini, yaitu militer dan birokrasi. Akbar sejak 1998 berhasil memandegani transformasi Golkar. Langsung atau tidak langsung, hal ini terkait dengan langkah sejumlah jenderal yang melompat ke luar dari Golkar ke skoci politiknya masing-masing. Lahirlah sejumlah presidential party seperti Gerindra, Hanura, dan Partai Demokrat.

Sejak itu faksionalisme dalam tubuh Golkar berhasil diredam, namun terdapat dua hal lain yang masih lolos dan tetap bercokol di partai ini, yaitu paternalisme dan sentralisme. Pimpinan Golkar di era belakangan entah tak mampu atau tak mau menghapuskan kedua karakter itu. Yang jelas, SN menambahi (atau menguatkan) karakter lain, yakni Robin Hoodisme. SN gemar berinvestasi ëmembelií loyalitas dan dukungan politisi lain, meski harus menggunakan sumber illegal.

Dimulainya tindakan hukum awal yang bisa membawa kejatuhan SN ini harus dimanfaatkan untuk melakukan penataan kelembagaan. Jika harus mengganti SN sebagai ketua umum partai, Golkar harus memilih orang yang kuat secara politik namun sanggup menghentikan praktik paternalisme dan sentralisme yang masih cukup mengganggu. Golkar harus menggunakan peluang ini untuk menuntaskan penguatan kelembagaan partai.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X