PRESIDEN Jokowi telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 2/2017 tentang Perubahan UU No.17/20013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Substansi yang hendak diinginkan Perpu ini adalah untuk mempercepat proses pemberian sanksi dari prosedur hukum pidana ke prosedur hukum administrasi negara bagi organisasi masyarakat (ormas) yang tidak berasaskan Pancasila dan UUD 1945 dan menggantikan ideologi negara dengan yang lain. Namun aturan ini ternyata bisa berpotensi melanggar HAM dan menjebak pemerintah menjadi otoriter.
Melalui Perpu ini pemerintah menggunakan otoritas subjektifnya menyatakan, bahwa UU Ormas belum akomodatif. Bahkan dalam UU Ormas ini prosedur pemberian sanksinya berbelit, karena harus melalui proses hukum dan peradilan. Sebaliknya melalui Perpu ini pemerintah menyederhanakan pemberian sanksi pembubaran Ormas Anti-Pancasila dengan menerapkan asas hukum administrasi, yakni contrarius actus. Asas ini hendak menempatkan pemerintah yang memberi izin ormas, maka pemerintah secara administratif berhak mencabut izin ormas tersebut.
Jika dibaca secara cermat kehadiran Perpu ini di satu sisi bertujuan mulia yakni hendak menjaga kedaulatan negara dan ideologi Pancasila dan UUD 1945. Agar tak mudah disimpangi ormas yang hendak menggantikannya dengan ideologi lain. Namun di sisi lain tujuan mulia ini tidak dibarengi dengan kecermatan dan pemahaman hak asasi manusia (HAM) secara utuh. Terutama dalam hal pemberian sanksi berupa cukup dicabut izin ormas.
Cara yang ditempuh melalui Perpu yang sederhana ini tentu akan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak kebebasan berbicara, berserikat dan berkumpul yang telah dijamin tegas dalam konstitusi (UUD 1945). Sebagaimana Pasal 28 dan 28E ayat (3) dan Pasal 24 UU No. 39/1999 tentang HAM, secara prinsip menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkumpul, berpendapat, dan berserikat untuk maksudmaksud damai.
Hal serupa juga dirumuskan dalam Pasal 22 Konvenan Internasional Hak-hak SIpil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No 12/2005.
Prinsip HAM yang diatur dalam aneka regulasi itu menyaratkan, bahwa negara perlu bertindak untuk melindungi kebebasan berkumpul, berpendapat dan berserikat sebagai cara untuk mengejawantahkan prinsip negara hukum bukan negara kekuasaan. Itulah sebabnya pembubaran ormas anti-Pancasila dan UUD 1945 sekalipun haruslah dengan melalui prosedur hukum dan pengadilan, bukan dengan membubarkannya melalui Perpu tanpa proses yudisial.
Kehadiran Perpu haruslah merupakan alternatif terakhir jika memang negara dalam keadaan darurat. Mengingat, jika tak segera diatur maka negara dalam bahaya. Namun secara objektif sesunguhnya saat ini tidak ditemukan fakta sosiologis negara dalam keadaan bahaya dan darurat sehingga diperlukan Perpu.
Bukankah amar putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 telah menafsirkan secara objektif diperlukannya Perpu? Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum ataupun kalau ada UU itu tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama.