Maka, saat calistung menjadi kewajiban kriteria syarat utama masuk SD/MI ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan Kebijakan Pemerintah (Kemendikbud). Apalagi dalam PAUD penekanan pada bermain dan belajar bergembira sebagai pembelajaran yang benar. Idealnya semua SD/MI menaati kebijakan pemerintah dan mendukung program wajib belajar sembilan tahun.
Pemaksaan calistung bisa menjadi beban peserta didik dan orangtua. Oleh karena itu demi menghargai hak anak agar tidak kehilangan masa kecilnya yang penuh kegembiraan, keceriaan dan kebahagiaan dalam bermain, perlu ada ketegasan. Calistung tidak lagi sebagai syarat masuk SD/MI menjadi habitus (budaya) bersama.
Penerapan rayonisasi (kewilayahan) dan kriteria usia dalam PPDB sangat manusiawi dan diterima akal. Pemerintah melalui dinas pendidikan dan kebudayaan selain mengeluarkan surat edaran juga monitoring dan evaluasi (monev). Melakukan pembinaan kepada Kepala SD/SMP dan mengedarkan publikasi/pamflet sampai tingkat Desa/kelurahan dan lembaga PAUD yang ada. Dewan Pendidikan wajib melaksanakan peran sebagai lembaga penyeimbang demi kelancaran pendidikan di kota maupun kabupaten. Tidak lupa peran masyarakat untuk proaktif dengan memberikan laporan/aduan kepada Pemerintah bila PSB SD/MI terjadi kejanggalan.
Radius jarak (kewilayahan) dan usia dalam penentuan siswa baru dari SD dan rumah lebih bersyarat. Mengurangi angka penculikan, kecelakaan, keterlambatan dan kemalasan dalam pembelajaran. Sehingga menuju pendidikan SD yang seimbang dan berkeadilan.
(FX Triyas Hadi Prihantoro. Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 8 Juli 2017)