Netralisir Magnet Kota

Photo Author
- Jumat, 7 Juli 2017 | 10:52 WIB

PERGERAKAN penduduk dari desa ke kota, merupakan fenomena yang mengikuti Idul Fitri. Realita ini membuat peningkatan populasi kaum urban di perkotaan, terutama di kota-kota besar seperti, DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makassar. Sebuah fenomena yang selalu muncul dari tahun ke tahun.

Dukcapil DKI Jakarta (2017) memrediksi pendatang baru yang akan memadati Jakarta tahun ini akan lebih banyak dibanding tahun lalu. Pada 2016 tercatat 68.763 pendatang baru, dan sebagian besar berasal dari pulau Jawa dan pulau Sumatera. Perkembangan terakhir urbanisasi di tanah air, berdasarkan sensus penduduk 2010 telah mencapai 44,3%, dan diproyeksikan akan mencapai 56,2% pada tahun 2025.

Fenomena itu terjadi lantaran menguatnya magnet kota yang dikemas melalui ‘kisah sukses’ para pemudik. Selain juga seraya ‘promosi’ yang menggiurkan perihal kemudahan menikmati segala fasilitas hidup, dan penghidupan di kota besar.

Minus Skill

Namun kisah sukses itu kerap membawa mimpi buruk bagi sebagian perantau baru sebab kehidupan baru yang diimpikan, tidak sesuai dengan realitas. Tidak sedikit di antara mereka yang bertahun-tahun hidup di kota besar tanpa status pekerjaan yang jelas alias menjalani hidup sebagai gelandangan dan pengemis (gepeng).

Hal itu sejalan dengan sejumlah temuan riset yang menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara ketiadaan pekerjaan di kalangan kaum muda dengan dorongan memulai dan/ atau melanjutkan tindak kejahatan (perilaku berisiko). Lebih tegas Barker (2005) dalam karyanya Dying to be men: Youth, masculinity and social exclusion mengingatkan pentingnya menyoal pengangguran tidak hanya dari perspektif ekonomi, namun juga psikososial dan gender.

Pandangan itu bisa kita pahami, lantaran ketiadaan pekerjaan bukan hanya dimaknai tidak punya penghasilan. Tetapi perasaan hilangnya identitas diri dan harga diri sebagai laki-laki muda yang semestinya menjadi tulang punggung keluarga. Kondisi psikososial itulah yang diyakni memicu seseorang nekat melakukan tindakan berisiko.

Banyak pihak menduga problematika tersebut muncul karena dua faktor utama. Pertama, sebagian besar perantau baru berpendidikan rendah. BPS (2017) mencatat kualitas tenaga kerja kita didominasi pekerja berpendidikan SD ke bawah sebanyak 49,97 juta orang atau setara dengan 42, 20%. Sementara pekerja yang mengenyam pendidikan tinggi hanya 3,41 juta orang atau 2,88% dari total tenaga kerja. Pendidikan yang rendah tentu akan menghambat perantau beradaptasi dengan lingkungan barunya di kota yang sarat dengan kecanggihan teknologi, dan kemajuan teknologi informasi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X