PEMBERITAAN kecelakaan lalu lintas seharusnya menjadi pelajaran penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan. Pemberitaan itu melengkapi imbauan-imbauan mengenai perilaku berlalu lintas yang baik yang telah dilakukan pihak berwenang dengan melibatkan berbagai media. Kewaspadaan dalam berkendara menjadi tanggung jawab masing-masing pengemudi. Kewaspadaan individu merupakan kunci mengatasi permasalahan karena faktor kelalaian manusia. Faktor ini menjadi akar permasalahan dari peristiwa kecelakaan yang terjadi.
Sayangnya perhatian untuk mengambil pelajaran dari peristiwa kecelakaan masih jauh dari harapan. Dampaknya kesalahan yang sama beberapa kali terulang, seperti dikutip dari surat kabar Kedaulatan Rakyat (18/5) dengan judul ‘Macet Panjang, Kecelakaan Beruntun Terjadi di Tol Cipularang’. Peristiwa tersebut melibatkan 10 kendaraan dan menyebabkan jatuhnya korban dengan rincian korban tewas 2 orang, korban luka ringan 19 orang, dan korban luka berat 1 orang. Peristiwa lain yang menyita perhatian adalah kecelakaan di Jawa Barat seperti dimuat surat kabar Pikiran Rakyat versi online (2/5) dengan judul berita ‘214 Kecelakaan Lalu Lintas Selama Libur Panjang Maret dan April 2017’, dari total kasus itu, 101 orang di antaranya meninggal.
Jatuhnya korban dari peristiwa di atas disimbolkan dalam angka-angka yang bisa menjadi bahan kajian kebijakan lalu lintas. Meskipun begitu, ganti rugi yang ditukar antara angka sebagai simbol dengan korban tidak sebanding. Kehadiran angka mengikuti jumlah korban yang berjatuhan, namun angka tidak bisa memperlihatkan trauma dan kesedihan yang dialami oleh korban. Trauma dan kesedihan bisa diketahui jika masyarakat tidak hanya perhatian pada angka, namun juga makna di baliknya.
Analisis Kelalaian
Jalan raya menjadi tempat bertemu para pengemudi, berikut dengan kepentingan masingmasing. Kelalaian muncul saat fokus mereka justru mengedepankan kepentingan individu. Keadaan tersebut membuat orang nekat bertindak grusa-grusu, terburu-buru dalam konotasi yang negatif, mengacu pada budaya Jawa. Tindakannya mengindikasikan perbuatan tanpa pertimbangan matang, yang hanya mengandalkan keyakinan, keberhasilan tindakan ini lebih kepada keberuntungan.
Ketidakmampuan kontrol atas kepentingan dalam diri, itu justru menjadi rangsangan yang mengalihkan atensi di jalan raya. Atensi atau perhatian menurut Robert L Solso (2001) dalam bukunya Cognitive Psychology 6th Edition ialah pemusatan pikiran, dalam bentuk yang jernih dan gamblang terhadap sejumlah objek simultan atau sekelompok pikiran. Pengalihan perhatian oleh kepentingan yang tidak terkendali, menyebabkan indra terutama mata dan telinga menjadi kacau. Padahal dua indra ini bertugas menangkap informasi di jalanan melalui penglihatan dan pendengaran. Hal tersebut membatasi kerja indra, maka kelalaian menjadi sebuah pilihan yang harus diambil pengemudi. Pilihan itu membawanya salah langkah yang kemudian menjadi kerugian bagi diri sendiri dan bisa berdampak kepada orang lain.
Konseling Mengemudi
Penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) merupakan usaha menekan angka kecelakaan karena human error atau kelalaian manusia. SIM menjadi bukti kelayakan berkendara seseorang yang telah disahkan secara hukum, dengan terlebih dahulu mengikuti ujian kelayakan. Meskipun begitu, diperlukan pemantauan berkala oleh pihak berwenang mengingat kontrol kepemilikan SIM setiap 5 tahun sekali. Dengan kondisi lalu lintas yang semakin padat maka tingkat stres pengemudi akan semakin meningkat, apalagi yang dalam beraktivitas tidak pernah lepas dari jalan raya. Pemantauan itu dikemas dalam model layanan konseling mengemudi, yang memfokuskan pada perubahan sikap dan perilaku. Konseling mengadopsi metode psikologi yang melibatkan konselor atau psikolog, dalam menangani masalah-masalah individu maupun kelompok, melalui pemahaman terhadap kemampuan diri sendiri. Dengan memahami kemampuan diri sendiri, diharapkan pengemudi tahu batas kemampuannya dalam mengendalikan stres.