AKHIR Ramadan, seluruh lembaga amil zakat dan sedekah (ZIS) disibukkan dengan pengelolaan zakat, infaq dan sedekah. Dari pengumpulan hingga penyaluran kepada masyarakat yang berhak menerimanya, seolah berlomba untuk menjadi yang terbaik lembaga zakat melayani para muzaki dan aghniya yang ingin berzakat. Di tengah-tengah kondisi Indonesia yang masih belum merata tingkat ekonominya, kemiskinan masih menjadi salah satu masalah utama di negeri ini. Zakat dianggap sebagai salah satu solusi dalam hal pengentasan kemiskinan. Benarkah?
Dalam Islam zakat merupakan kewajiban ibadah sosial ekonomi yang memiliki peran strategis membantu pemerintah mengatasi masalah perekonomian. Baik secara doktrin Islam sendiri maupun secara pembangunan ekonomi keumatan. Di dalam Alquran sendiri terdapat 82 ayat yang meletakkan zakat sejajar dengan perintah ibadah salat. Bahkan kedudukan zakat dipandang sebagai bagian dari ciri-ciri orang yang mendapatkan kebahagiaan.
Membangun Ekonomi
Bagi seorang muslim kesadaran berzakat merupakan sebuah keharusan yang ditunaikan dalam rangka keimanan dan keislaman diri. Dalam konteks spiritual beragama, membayar zakat adalah gerakan menabung untuk bekal di akhirat. Namun dalam konteks dunia sebenarnya zakat memiliki kekuatan yang hebat membangun ekonomi umat. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang cukup tinggi akan berdampak nominal pengumpulan zakat juga meningkat dengan ukuran besarnya jumlah rupiah yang dikumpulkan. Kemampuan warga masyarakat dalam berzakat bisa dijadikan ukuran kesejahteraan masyarakat (Islam) pada khususnya. Inilah potensi besar yang bisa digali lebih dalam bagi masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran dan amalan melalui zakat infaq dan sedekah.
Lembaga pengelola zakat sebenarnya bisa memaksimalkan potensi yang ada tersebut, peningkatan kualitas nilai zakat dan kuantitas muzaki mutlak diperlukan agar lembaga pengelola zakat semakin dipercaya masyarakat. Kompetensi petugas pengumpul zakat (amil) yang harus terus melakukan sosialisasi program, laporan mekanisme penyaluran kepada mustahik (penerima zakat) akan menjadi pengaruh terhadap kualitas manajemen lembaga pengelola zakat. Lembaga amil yang mengelola akad bukan sekadar menerima dan memroses hasil pengumpulan zakat saja melainkan berkewajiban juga dalam hal distribusi termasuk dalam memberikan pembinaan kepada masyarakat penerima. Misal pemberian modal usaha, pembinaan ekonomi masyarakat miskin hingga terangkat status ekonominya menjadi lebih baik. Dengan demikian lembaga pengelola zakat bisa berperan sebagai bagian yang turut serta dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan.
Zakat memiliki peran penting dalam menekan angka kemiskinan, bukan malah memelihara kemiskinan. Tercatat dalam sejarah pada zaman Rasulullah, khalifah hingga pada masa Umar bin Abdul Aziz pengelola zakat merasa kesulitan dalam penyaluran karena hampir tidak ada lagi masyarakat yang berhak menerima zakat. Ini menunjukkan bukti bahwa dengan zakat kemiskinan bisa diatasi.
Menggali Potensi
Jika kita melihat potensi penerimaan zakat di Indonesia, tentu semua pihak harus terus bersinergi berjuang menggali potensi tersebut. Melihat kenyataan perolehan zakat saat ini, Potensi Rp 217 triliun hanya sebuah catatan tahunan yang terus menjadi angan-angan. Perolehan zakat yang baru mencapai 1,2%, bukan berarti potensi yang ada menjadi sulit tercapai. Setidaknya jumlah masyarakat Indonesia yang beragama Islam menjadi modal tersendiri dalam mewujudkannya.