‘Radikalisasi’ Pancasila

Photo Author
- Rabu, 21 Juni 2017 | 10:29 WIB

ISTILAH ‘Radikalisasi Pancasila’ pernah diucapkan almarhum Prof Dr Kuntowijoyo. Beliau waktu itu sangat resah akibat Pancasila hanya dijadikan lip service, bahkan menjadi alat politik untuk melanggengkan kekuasaan. Di masa lalu Pancasila hanya menjadi ideologi beku karena hanya dijadikan bahan penataran P4 dan asas tunggal bagi parpol dan ormas.

Hasilnya, Pancasila ‘tidak operasional’. Sehingga Bangsa Indonesia kehilangan arah. Pancasila memang ‘jimat sakti’, namun jimat itu hanya disarungkan di pinggang dan tak pernah digunakan untuk ‘berkelahi’ terhadap korupsi. Apalagi dijadikan sebagai ideologi yang mengarahkan pembangunan nasional.

Karenanya, jika Pancasila ingin tetap ‘sakti’, maka harus ada ‘radikalisasi’. Istilah ini kata Kuntowijoyo menunjuk kepada upaya untuk ‘mengaktifkan’ sila-sila dalam Pancasila agar ‘operasional’, untuk menjadi dasar negara, pedoman, filsafat, serta ideologi dan tercermin dalam perilaku keseharian bangsa. Terutama elite politik.

Tahapan

Beberapa tahapan radikalisasi di antaranya, jadikan Pancasila benar-benar sebagai : 1). Ideologi negara; 2). Salah satu sumber ilmu; 3). Laksanakan Pancasila secara konsisten, koheren, dan koresponden; 4). Jadikan Pancasila sebagai pelayan horizontal dan bukan vertikal; dan 5). Jadikan Pancasila sebagai kriteria kritik kebijakan negara.

Tentu saja tidak cukup ruang ini untuk menguraikan satu-persatu hal tersebut. Karenanya akan diambil satu hal yang penting, yakni bagaimana Pancasila mampu dijadikan ideologi yang ‘operasional’ untuk menuntun etika dan moralitas para politikus dan penyelenggara negara?

Mengapa hanya mereka yang dituntut? Sederhana saja, kalau rakyat tidak mungkin akan mengkhianati negara, karena rakyat adalah pihak yang memberi amanah kepada mereka untuk menyelenggarakan negara. Karenanya pihak yang paling bertanggung jawab terhadap hancurnya negara adalah para politikus dan penyelenggara negara. Indikatornya jelas, negeri ini telah tergadai. Korupsi sudah menggurita dan bukan lagi sekadar kasus. Indeks persepsi korupsi yang demikian rendah ini jelas berpengaruh terhadap indeks-indeks lainnya tersebut.

Ini artinya, Pancasila tidak ada dalam kamus pemerintahan negara. Sebab jika ada, pasti korupsi akan minimal karena dalam Pancasila ada sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, misalnya. Jika sila ini dipegang dan dijadikan dasar etika moral politikus dan penyelenggara negara, maka korupsi tidak akan ada.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X