Pemerintah yang memiliki jiwa keadilan sosial, pasti tidak akan korupsi, karena korupsi menimbulkan ketidakadilan, kemiskinan, dan kebangkrutan negara. Dengan bertindak koruptif, berarti juga tidak mengamalkan sila ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan.
Tuntutan
Dalam perspektif Ricoeur (1990), etika politik itu mengandung tiga tuntutan, yakni : 1). Upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; 2). Upaya memperluas lingkup kebebasan; dan 3). Membangun institusi-institusi yang adil. Jelas pula Pancasila tidak kalah dengan pandangan Ricoeur ini, karena ketiga etika tersebut sudah termuat dalam sila-sila pancasila. Bahkan etika politik yang didasarkan Pancasila, tidak hanya menyangkut etika individu para politikus dan penyelenggara negara, namun etika ini juga menyangkut tindakan kolektif. Untuk menunjuk etika kolektif sudah pasti dibutuhkan pandangan dan aspirasi dari berbagai pihak. Ini artinya demokratisasi akan berjalan baik jika didasarkan atas Pancasila.
Radikalisasi Pancasila akan semakin operasional jika diterapkan dalam membangun institusi-institusi sosial. Harus dipahami, korupsi merajalela karena institusi-institusi sosial kita rusak parah. Institusi sosial (misalnya birokrasi) mendefinisikan hak dan kewajiban setiap warga negara. Jika institusi sosial tidak sehat, maka ia akan menjadi sumber ‘keberuntungan’ bagi pihak lain (baca : penguasa, birokrat, politikus, pengusaha, dst), dan kemalangan bagi pihak lain (baca : rakyat).
Pembangunan institusi sosial akan berjalan baik jika ada visi dan bukan hanya strategi saja. Meski terkesan ‘abstrak’, visi atau ideologi perlu ditanamkan dalam benak penyelenggara negara karena akan menuntun arah dan kebijakan mereka. Visi dan ideologi bagai mercusuar moral. Kapal yang berjalan tanpa dipandu mercusuar, akan menarak karang dan kandas.
Radikalisasi Pancasila nampaknya akan terhambat dengan berbagai keputusan politik, termasuk menghilangkan mata pelajaran Pancasila di segala jenjang pendidikan kita. Jika Pancasila dikebiri, ia tidak sakti lagi.
(Saratri Wilonoyudho. Dosen Universitas Negeri Semarang. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 22 Juni 2017)