BANYAK orang mengira bahwa usaha pertanian, dari segi infrastruktur-nya, tidak akan pernah terhenti. Pertanian akan tetap berlanjut, sampai kapan pun, karena bahan dan sarana dasarnya selalu ada. Namun, apa benar demikian?
Bahan dan sarana dasar pertanian, seperti tanah, air, udara dan lingkungan, nampak semakin merosot mutunya. Penggunaan bahan agrokimia memang semula dianggap membantu pertanian untuk lebih produktif. Ternyata justru membawa akibat merusak. Kesuburan menurun. Hama penyakit mewabah.
Apakah pertanian akan semakin terpuruk jika praktik seperti ini diterus-teruskan? Padahal belum ada kegiatan selain bertani sebagai alternatif yang mampu memberi bahan pangan bagi manusia. Inilah hal yang mesti dicermati. Perlu penjagaan agar usaha pertanian terus berjalan. Jangan sampai usaha bertani terhenti karena terjegal kegiatannya sendiri.
Pertanian Lestari
Kesadaran ini, yang sudah muncul sejak beberapa dasawarsa akhir abad lalu, bukan semata keresahan pegiat pertanian di negeri kita. Kemunduran kondisi usaha pertanian ternyata mendunia. Karena bahan, sarana, dan prasarananya juga merata oleh majunya teknologi. Pada satu sisi hal ini membawa berkah. Pada sisi lain, mendatangkan musibah. Tanah tidak produktif kalau tidak dipupuk. Produk usaha tani tidak sehat karena mengandung residu berbahaya.
Orang pun berwacana dan menyusun konsep tentang pertanian yang tetap terjaga, yang terus mampu berproduksi, yang tidak hancur karena dikelola secara keliru. Inilah yang menyebabkan munculnya gagasan, konsep dan praktik pertanian berkelanjutan atau sustainable agriculture. Secara lokal bisa saja kita sebut pertanian lestari.
Mendiang profesor Kasumbogo Untung (1941- 2010), gurubesar pada Fakultas Pertanian UGM, pada tahun 2005 telah mengkompilasi sepuluh syarat atau prinsip yang mesti dipenuhi agar pertanian dapat berlanjut, atau tetap lestari.
Yang pertama, sesuaikan praktik budidaya dengan keadaan setempat. Kalau suatu daerah tidak cocok ditanami padi, ya tidak usah bersikeras hendak mengunggulkan produksi padi. Cari tanaman unggulan khas daerah. Kemudian, ‘berdayakan masyarakat terutama masyarakat tani’. Siapa lagi yang harus menjaga kegiatan bertani kalau bukan masyarakatnya sendiri.