KONDISI perekonomian yang stabil merupakan salah satu tujuan pokok kebijakan ekonomi makro setiap negara, dan instrumen penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah stabilisasi harga bahan pangan. Setiap momen hari besar keagamaan terutama Ramadan dan Idul Fitri, fluktuasi pasokan dan harga bahan pangan kerap membuat repot pemerintah. Bahkan pemerintah terkesan panik ketika menghadapi harga bahan pangan yang telanjur melonjak di pasaran.
Fenomena berulang itulah yang barangkali menjadi alasan mengapa pemerintah setiap kali menjelang puasa dan Lebaran, merasa perlu menjamin ketersediaan kebutuhan pangan yang cukup di dalam negeri. Sebagaimana diungkapkan Mentan, Amran Sulaiman bahwa stok bahan pangan aman untuk kebutuhan puasa dan hari raya, dan harga dapat ditekan, sehingga aman secara material dan ekonomis (KR 15/4).
Masyarakat luas tentu merasa ayem mendengar kabar baik tersebut. Namun keayeman itu segera terusik manakala mengingat kembali pengalaman tahun-tahun yang lalu. Di mana pemerintah dinilai kurang sigap mengendalikan harga komoditas pangan yang banyak dibutuhkan masyarakat pada saat puasa dan Lebaran seperti daging sapi, daging ayam, gula pasir, bawang merah, dan berbagai varian cabai.
Belum lepas dari ingatan, harga dagang sapi sempat melonjak tajam pada puasa dan Lebaran tahun yang lalu. Harga daging sapi pada saat itu menembus Rp120 ribu/kg, bahkan di beberapa daerah mencapai Rp160 ribu/kg. Ironisnya sampai saat ini harga daging sapi cenderung keukeuh pada harga Rp100 ribuan/kg. Sementara, bawang putih dalam dua hari ini mulai merangkak naik harganya.
Lebih parah lagi, fenomena lonjakan harga cabai rawit merah yang tidak masuk akal sehat, lantaran harganya lebih mahal dari daging sapi. Pemerintah baru bisa ëmenjinakkanà setelah harga cabai di atas Rp100 ribu/kg bertahan cukup lama, yakni semenjak November 2016 sampai dengan awal April 2017.
Terdapat sejumlah persoalan krusial yang membuat pemerintah kesulitan mengendalikan harga sejumlah komoditas pangan. Pertama, belum adanya penguatan cadangan dan pasokan komoditas pangan secara terintegrasi antar-kementerian terkait (pertanian dan perdagangan), dan antarpusat dan daerah. Padahal UU tentang pangan mengatur cadangan pangan dari tingkat pusat sampai ke masyarakat dan atau/ perdesaan.
Kedua, ketidakakuratan data produktivitas pangan nasional. Konversi lahan pertanian untuk kawasan industri, real estate dan infrastruktur dari waktu ke waktu terus terjadi. Namun laporan luas lahan panen tidak mengalami penurunan. Misalnya, data luas panen padi Kementan (2013) tercatat 13,84 juta hektare, sementara menurut data hasil sensus pertanian BPS (2013) tercatat 9,83 juta hektare, maknanya terjadi overestimate sebesar 4 juta hektare.
Belum lagi perbedaan metode perhitungan produktivitas pangan antara Kementan dan BPS, yang imbasnya data hasil produktivitas pangan nasional antara keduanya berselisih. Misalnya data yang dirilis Kementan (2013), menunjukkan produksi padi sebesar 71,28 juta ton GKG, sementara hasil sensus pertanian BPS pada tahun yang sama, produksi padi sebesar 51,15 juta ton GKG. Terdapat selisih yang sangat besar, yakni 20,13 juta ton GKG (Khudori, 2017).