RABU 19 April 2017 hari ini, warga DKI Jakarta melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua. Suhu politik Jakarta ibarat demam berat. Tim sukses Basuki-Djarot maupun Anies-Sandi menggunakan berbagai cara untuk memenangkan jagonya. Masalah SARA, 'perang medsos' hingga 'hujan sembako' mewarnai pemilihan kali ini. Masyarakat Jakarta seakan terbelah.
Yogyakarta yang berjarak sekitar 550 Km dari Jakarta juga merasakan aroma pertarungan itu. Ini dapat dimaklumi, sebab Jakarta merupakan ibukota negara. Mengiring langkah warga Jakarta memasuki bilik-bilik tempat pemungutan suara, kita turut berdoa agar pilkada putaran kedua berjalan lancar dan aman. Pada saat bersamaan, kita menitipkan Jakarta kepada Polri, TNI, KPUD DKI, Bawaslu DKI, pimpinan parpol, petinggi ormas, dan tak kalah penting kepada warga Jakarta yang memiliki hak pilih dalam pilkada.
Mengapa kita perlu menitipkan Jakarta? Ada beberapa alasan. Pertama, Jakarta adalah pusat pemerintahan. Di sanalah pucuk pimpinan eksekutif, legislatif, maupun judikatif negeri ini berada. Di balik agenda pilkada, terbuka kemungkinan agenda politik lain yang lebih luas, dan menyangkut kepemimpinan nasional.
Kedua, Jakarta menjadi pusat perhatian dunia. Ini merupakan konsekuensi logis Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Situasi politik di setiap ibukota negara selalu menjadi sorotan dan bahan berita. Tidak hanya oleh pers lokal dan nasional, tetapi juga pers asing. Apalagi situasi politik yang hangat pada Pilkada DKI 2017 sudah menyebar sejak dugaan penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama tersebar pada awal Oktober 2016.
Ketiga, Jakarta merupakan etalase Indonesia dan dunia. Lagi-lagi, ini merupakan konsekuensi logis kedudukannya sebagai ibukota negara. Berbagai kantor lembaga nasional berpusat di Jakarta. Kedutaan besar dan kantor perwakilan negara-negara sahabat juga berada di sana. Jakarta ibarat ruang kaca raksasa yang menyimpan arsip-arsip beserta berbagai pergulatan pemikiran untuk urusan nasional maupun internasional.
Keempat, Jakarta menjadi barometer politik nasional. Fenomena politik penting yang terjadi di Jakarta akan ditiru di tempat lain. Sekadar contoh, terpilihnya Joko Widodo sebagai Gubernur DKI (2012-2014) mendorong daerah-daerah lain mencari sosok yang sama gaya: sederhana, lugas, piawai berdiplomasi, tetapi santun. Berbagai kebijakan politik yang berhasil diterapkan di Jakarta, juga cenderung diterapkan di wilayah lain. Diam-diam berlaku prinsip, "Jakarta yang masalahnya pelik dan rumit saja bisa melakukan, apalagi kita!"
Kelima, Jakarta merupakan pusat ekonomi. Pusat distribusi barang dan jasa terbesar adalah Jakarta. Ditopang sejumlah wilayah pendukung di sekitarnya, Jakarta tidak tertandingi wilayah lain di negeri ini. Secara nasional, jumlah uang yang beredar di Jakarta mencapai 20%. Menurut Kantor Perwakilan Bank Indonesia DKI Jakarta, pada pertengahan November 2016, aktivitas ekonomi di Jakarta per hari mencapai Rp 6 triliun. Jika terjadi demonstrasi besar, seperti aksi damai 411, kerugian bisa mencapai Rp 2,9 triliun sehari.
Keenam, Jakarta menjadi harapan perbaikan taraf hidup. Ini berkait dengan Jakarta sebagai magnet ekonomi. Urbanisasi yang memuncak setelah Lebaran, pada tahun terakhir mencapai 100.000 orang. Mereka berasal dari seluruh pelosok Nusantara yang memimpikan perbaikan nasib. Jakarta pada siang hari dijubeli 12,7 juta manusia; adapun pada malam hari sekitar 9,9 juta. Artinya, Jakarta harus dijaga sebagai tempat menyambung asa.