PROVINSI DIY tidak lama lagi akan memiliki bandar udara (bandara) yang terbaru. Namanya Bandar Udara Internasional Yogyakarta Baru (New Yogyakarta International Airport). Seperti diberitakan harian ini (KR, 30/3), desain NYIA menonjolkan nuansa khas Yogyakarta. Pertanyaannya kini, apa relevansi antara urusan bandar udara dan urusan bahasa, khususnya Bahasa Indonesia, daerah, dan asing pada penamaan bandar udara tersebut?
Bandar udara atau bandara merupakan pintu pertama bagi masuknya warga negara asing (WNA) ke Indonesia. Untuk itu, aspek keramahtamahan, pelayanan, dan kebersihan dari pihak bandara perlu diperhatikan agar para WNA merasa nyaman saat kali pertama tiba di Indonesia. Yang tidak boleh terlupakan juga ialah penggunaan Bahasa Indonesia, daerah, dan asing pada papan-papan petunjuk di sekitar bandara.
Agar sejalan dengan semangat UU Nomor 24 Tahun 2009, yaitu (1) mengutamakan Bahasa Indonesia, (2) melestarikan bahasa daerah, dan (3) mempelajari bahasa asing, maka pihak pengelola NYIA harus juga memiliki semangat serupa. Di Bandara Internasional Adisutjipto, papan petunjuk bertuliskan ‘Sugeng Rawuh’, ‘Selamat Datang’, dan ‘Welcome’. Hal ini dianggap kurang sesuai dengan semangat undang-undang di atas.
Semangat UU No 24/2009
Idealnya, papan petunjuk tadi bertuliskan ‘Selamat Datang’terlebih dahulu, kemudian diikuti ‘Sugeng Rawuh’ dan ‘Welcome’. Susunan ungkapan tersebut telah sesuai dengan semangat UU Nomor 24 Tahun 2009 itu. Saya kira, pihak pengelola Bandara Adisutjipto atau NYIA dapat berkonsultasi dengan pihak Balai Bahasa DIY selaku unit pelaksana teknis (UPT) Badan Bahasa di Provinsi DIY. Melalui konsultasi itu, kelak pengelola bandara dapat mengerti secara benar.
Berikutnya, nama bandara. Nama NYIAmirip dengan Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Bedanya, KLIAdiambil dari nama ibukota negara Malaysia, sedangkan NYIA diambil dari nama ibukota Provinsi DIY dengan penambahan kata new. Dari faktor nama bandara saja, kita bisa melihat betapa masyarakat Indonesia masih keranjingan berbahasa Inggris ria. Kita tampaknya belum memiliki kebanggaan diri terhadap bahasa Indonesia.
Padahal, Bahasa Indonesia justru banyak diminati oleh orang asing dan diajarkan di 45 negara di dunia. Coba Anda bayangkan, betapa Bahasa Indonesia mengalami lompatan kuantum yang luar biasa. Awalnya bercikal-bakal dari Bahasa Melayu, kemudian dikukuhkan melalui pembacaan ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Sehingga Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi negara kita. Kini, Bahasa Indonesia akan ditargetkan menjadi bahasa internasional.
Saya kira, target di atas dapat dielaborasi oleh pihak pengelola bandara internasional di Indonesia, termasuk NYIA. Untuk itu, pihak pengelola bandara dapat berkonsultasi dengan pengelola balai bahasa/kantor bahasa di ibukotaibukota provinsi. Dengan begitu, saya yakin, Bahasa Indonesia akan lebih dikenal oleh para WNA, baik untuk kepentingan belajar dan/atau mengajar maupun kepentingan bekerja di Indonesia.