PERUBAHAN pengelolaan layanan bus Trans Jogja patut dinanti. Rencana peremajaan armada, penambahan jalur, dan pemberlakuan sistem pembayaran on bus mulai April 2017 memberikan harapan baru dalam perbaikan tata kelola layanan transportasi publik berbasis Bus Rapid Transit (BRT) ini. Di tengah polemik transportasi daring, inilah momentum yang tepat bagi Trans Jogja untuk mengukuhkan diri sebagai moda transportasi yang andal, nyaman, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Sampai dengan saat ini, Trans Jogja mengoperasikan 74 armada yang melayani 8 jalur dengan tingkat keterisian sekitar 20%. Rendahnya tingkat keterisian ini tak menghalangi rencana Trans Jogja meningkatkan armadanya menjadi 128 bus dan memperluas jangkauan dengan menambah 9 jalur baru. Namun, bukankah perbaikan kualitas layanan lebih mendesak daripada ekspansi trayek? Tidakkah lebih bermanfaat jika penambahan armada dialokasikan pada koridor yang sudah ada, sehingga dapat menurunkan waktu tunggu penumpang?
Orientasi Kebijakan
Pemerintah perlu merumuskan tujuan eksistensi Trans Jogja, apakah pelayanan atau keuntungan. Rumusan ini penting agar keberhasilan kinerja dapat lebih terarah dan terukur. Jika menilik sistem layanan buy the service dan besaran bantuan operasional yang digelontorkan, terlihat bahwa saat ini pemerintah lebih memrioritaskan pelayanan daripada keuntungan. Oleh karena itu, perbaikan kualitas pelayanan mutlak harus dilakukan, setidaknya, agar Trans Jogja memenuhi standar untuk disebut sebagai BRT.
Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) mengidentifikasi lima karakteristik standar koridor BRT, meliputi: (1) jalur khusus, (2) hak eksklusif atas jalan, (3) penarikan biaya sebelum naik, (4) perlakuan khusus di persimpangan, dan (5) halte setinggi lantai bus. Dari kelima aspek tersebut, Trans Jogja hanya memenuhi prasyarat ketiga dan kelima. Ketiadaan infrastruktur jalur khusus harus menjadi perhatian dan pemikiran bersama. Penyediaan jalur khusus dengan segala keisitimewaannya menjadi kunci perbaikan layanan Trans Jogja.
Menurut kajian ilmu etika, penyediaan jalur khusus Trans Jogja memenuhi prinsip-prinsip utilitarianisma, hak dan keadilan, serta etika lingkungan. Pertama, kajian utilitarianisma mensyaratkan bahwa kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan manfaat dan beban masa datang. Oleh karena itu, jika Trans Jogja dipandang sebagai mitigasi dan solusi kemacetan yang mulai tampak, maka penyediaan jalur khusus perlu dipertimbangkan sebagai beban masa sekarang untuk memperoleh utilitas maksimal masa mendatang.
Kedua, penyediaan jalur khusus Trans Jogja melanggar hak negatif pengguna kendaraan pribadi. Namun di sisi lain meningkatkan hak positif masyarakat untuk memperoleh layanan transportasi yang cepat, andal, dan nyaman. Dari perspektif keadilan, penyediaan jalur khusus Trans Jogja merupakan bentuk keadilan distributif yang memberikan perlakukan berbeda untuk hal yang berbeda. Sangat tidak adil jika membiarkan bus Trans Jogja bersaing dan berebut jalur dengan kendaraan pribadi.
Ketiga, penyediaan jalur khusus diharapkan mampu meningkatkan secara signifikan kualitas pelayanan Trans Jogja, terutama soal ketepatan waktu dan kenyaman. Sehingga mampu mempengaruhi pilihan masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Edukasi dan promosi dalam membentuk kultur ‘suka naik transportasi umum’ tentunya akan berpengaruh pada isu-isu lingkungan. Pengurangan penggunaan kendaraan pribadi sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan dan efisiensi penggunaan sumber daya takterbarukan.