Hasilnya, manakala brand masih diposisikan sebagai kata benda, realitas lapangan yang muncul, keberadaan brand tersebut turun drastis menjadi sekadar sebuah merek. Ia akan berjalan sendiri tanpa arah. Ia bergerak sendiri secara sporadis dan jejak langkahnya pun tidak konsisten.
Dapatkah miskomunikasi yang terjadi atas program branding kota, wilayah dan destinasi wisata dapat dibenahi dan diantisipasi? Tentu saja miskomunikasi dan kelemahan tersebut dapat dibenahi. Cara paling mudah dengan mengajak siapa pun, baik personal individu, komunitas dan institusi untuk menjadikan program branding tersebut bagian dari miliknya pribadi. Dengan demikian program branding Yogyakarta naik kastanya menjadi bagian dari personal branding, ekspresi diri sekaligus pengikat emosi jiwa siapa pun yang merasa Yogyakarta sebagai tempat bermukimnya.
Kabupaten Kulonprogo adalah salah satu wilayah yang dinilai berhasil menjalankan program branding kota lewat konsep ‘Bela Beli’. Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo dan Walikota Bandung Ridwan Kamil adalah amsal kecil yang merelakan dirinya pribadi menjadi brand ambassador atas wilayahnya dalam konteks branding kota. Bupati Kulonprogo sebagai brand ambassador senantiasa menjalankan diplomasi budaya seraya menunjukkan bukti nilai kagunan atas potensi wilayahnya. Di antaranya batik gebleg renteng, batuan, kesenian hingga pembuatan air mineral.
(Dr Sumbo Tinarbuko. Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 24 Maret 2017)