HAK politik kaum disabilitas sudah selayaknya disuarakan. Sebagaimana kelompok feminis juga telah memulainya terlebih dahulu dan berhasil memperoleh kuota bagi perempuan dalam parlemen. Perjuangan politik kaum disabilitas sebenarnya telah didukung oleh KPU dengan menyediakan TPS dan informasi yang ramah bagi para penyandang disabilitas. Hasilnya dalam pilkada serentak pertengahan Februari lalu, partisipasi kaum disabilitas mulai bertambah, menurut data dari website Komisi Pemilihan Umum, terdapat 50.108 orang kaum disabilitas yang telah menggunakan suara dalam pilkada serentak 2017, jumlah tersebut meningkat sekitar 200% dari pemilihan umum sebelumnya.
Upaya KPU dalam mendorong partisipasi kaum disabilitas seharusnya dibarengi dengan upaya partai politik dan calon kepala daerah dalam mengakomodasi suara pemilih disabilitas dan menyiapkan kebijakan yang ramah disabilitas. Akan tetapi partai politik dan calon kepala daerah nampaknya belum terlalu memperhatikan isu ini. Hal itu dibuktikan dengan sedikitnya pembahasan masalah disabilitas dalam debat calon kepala daerah. Padahal jika melihat hasil pilkada serentak Februari lalu, minimnya polaritas isu telah membawa kejenuhan berpolitik. Tidak hanya itu minimnya polaritas isu telah menyebabkan tren baru yakni tipisnya perolehan suara pada beberapa daerah.
Perbedaan Suara
Tren perolehan suara akhir-akhir ini yang cenderung terpaut tipis mengindikasikan sedikitnya polaritas isu yang dibawa oleh calon kepala daerah. Tipisnya selisih suara ini juga mengakibatkan ketegangan di beberapa daerah. Tipisnya selisih suara tersebut bisa jadi disebabkan oleh kejenuhan berpolitik (jenuh untuk mencoblos) karena masyarakat mulai menganggap bahwa tidak akan ada perubahan signifikan meskipun ada pergantian kepala daerah. Hal tersebut sudah saatnya disadari oleh partai politik, dan isu disabilitas sebenarnya dapat dijadikan solusi bagi partai politik untuk membawa angin segar dalam demokrasi di Indonesia. Tren tipisnya selisih suara itu juga diamini oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bahwa dalam pilkada serentak Februari 2017 terdapat 3 daerah yang masuk siaga satu yang disebabkan karena tipisnya perbedaan suara, yakni Provinsi Aceh, Kota Jayapura, dan Kabupaten Tolikara.
Selain pernyataan Menteri Dalam Negeri, pada pilkada Februari yang lalu setidaknya terdapat 8 daerah yang mengalami tipisnya perbedaan suara, daerah itu adalah Kota Yogya (selisih 1.189 suara atau 0,6%), Kota Salatiga (selisih 1.090 suara atau 1,04%), Kabupaten Pidie (selisih 3.837 suara atau 2,04%), Kabupaten Gayo Lues (selisih 784 suara atau 1,44%), Kabupaten Takalar (selisih 2.023 suara atau 1,16%), Kabupaten Bombana (selisih 1.266 suara atau 1,56%), Provinsi Sulawesi Barat (selisih 4.748 suara atau 0,75%), dan juga Provinsi Banten (selisih 87.798 suara atau sekitar 1,86%).
Kecilnya selisih suara itu menandakan bahwa partai politik membutuhkan pemilih baru. Selain memperhatikan kelompok pemilih pemula, partai politik sebenarnya dapat memperhatikan kaum disabilitas.
Memilih dan Dipilih
Pengangkatan isu disabilitas dalam pemilihan umum pada dasarnya akan memberi warna baru dalam demokrasi di Indonesia. Pertama, bahwa isu disabilitas dapat menambah polaritas isu dan pemilih. Kedua, disuarakannya hak politik kaum disabilitas dapat dijadikan sebagai pertanda kedewasaan berpolitik, bahwa masyarakat Indonesia bergerak semakin ramah terhadap kaum disabilitas. Ketiga, yang paling penting adalah eksistensi kaum disabilitas sudah diakui, tidak hanya dengan KTP akan tetapi juga diakui secara politik bahwa kaum disabilitas merupakan warga negara yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih.