SEJAK beberapa tahun terakhir, alih fungsi lahan pertanian menjadi salah isu terpenting dalam konteks pembangunan pertanian nasional. Isu ini juga sangat strategis bagi pembangunan daerah dan pembangunan pertanian di Yogyakarta. Surat Kabar Kedaulatan Rakyat juga menjadikan isu alih fungsi lahan pertanian di DIY sebagai headline (Sabtu, 25/2).
Kondisi alih fungsi lahan pertanian di Yogyakarta dapat dianalisis dengan data penggunaan lahan pertanian. Berdasarkan data BPS DIY (2017), tahun 2015 luas penggunaan lahan pertanian di DIY sebesar 242.246 ha. Luas penggunaan lahan menurun 692 ha jika dibandingkan dengan luas tahun 2014 sebesar 242.938 ha.
Total luas lahan basah (sawah) di DIY pada tahun 2015 sebesar 55.425 ha dan mengalami penurunan 225 ha jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2014 seluas 55.650 ha. Dengan menggunakan data 2 tahun terakhir diketahui penurunan lahan sawah di DIY sebesar 0,4 persen dari total luas lahan sawah.
Kabupaten Sleman merupakan kawasan penghasil pangan yang sangat penting di DIY dengan total luas sawah 21.907 ha berkontribusi 40% dari seluruh sawah di DIY. Sementara pada sisi yang lain, alih fungsi lahan pertanian di wilayah Kabupaten Sleman terjadi sangat masif untuk berbagai penggunaan seperti permukiman, perumahan, apartemen, hotel, kawasan industri dan jasa serta penggunaan non-pertanian lainnya. Kawasan Bantul dan Kulonprogo juga mengalami fenomena yang serupa dengan kondisi yang terjadi di Sleman.
Perda
Dampak alih fungsi lahan pertanian di DIY secara langsung mempengaruhi kemampuan penyediaan bahan pangan pokok bagi masyarakat di DIY. Dengan asumsi produktivitas lahan sawah sebesar 5 ton/ha dan dalam setahun bisa dilakukan dua kali musim tanam, maka dalam setahun terjadi kehilangan potensi produksi sebesar 2.250 ton gabah atau setara 1.463 ton beras (rendemen 65%).
Kebijakan sangat urgen dilakukan adalah mempercepat proses penyusunan Perda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) di semua kabupaten. Dengan ditetapkannya Perda LP2B yang terintegrasi dalam RTRW dapat segera ditetapkan kawasan pertanian yang dilindungi. Lahan pertanian yang dilindungi tentunya didasarkan pada situasi dan lokasi kawasan, aksesibilitas, kesuburan, irigasi, ketersediaan infrastruktur pertanian dan lain sebagainya.
Setelah penetapan kawasan lahan pertanian dilindungi, dapat segera diikuti dengan kebijakan dan program-program yang dirancang dan diimplementasikan oleh organisasi perangkat daerah (OPD) teknis. Sehingga secara terintegrasi dapat memberikan perlindungan pada lahan pertanian yang telah ditetapkan.