USAI pilkada serentak beberapa hari lalu, ada tugas krusial bagi seluruh elemen bangsa ini yang harus segera digagas, yakni menenun kembali benang-benang kebangsaan kita. Tak bisa diabaikan bahwa kencangnya angin politik menjelang pilkada meniscayakan ruahnya berbagai bentuk ketegangan sosial. Pada sebuah keluarga besar, misal, bisa saja terjadi perbedaan perspektif, orientasi, dan pilihan politik yang memantik ketegangan sosial. Apalagi pada ranah yang lebih luas seperti lingkungan sosial dan media sosial.
Secara historis, kita semua sebenarnya telah mengantongi modalitas yang cukup untuk meluruhkan ketegangan-ketegangan politik praktis melalui pengalaman pilkada hingga pilpres yang telah lalu. Modalitas sejarah itu seyogianya kini bisa dinyalakan kembali dalam spirit merajut kembali benang-benang harmoni ruang publik kita. Tujuan finalnya cuma satu: bahwa kita adalah satu kesatuan bangsa dan tanah air dalam kebinekaannya.
Berbagi Keadaban
Dalam kaitan ini, pandangan filsuf asal Jerman Jurgen Habermas, tentang tatanan ruang publik, di mana semua kita harus selalu berbagi secara intim dan kolektif di dalamnya, menarik untuk direfleksikan. Melalui penelitiannya pada abad 18 di Inggris dan Prancis, Habermas yang membangun ‘teori sosial kritis’ menyimpulkan bahwa rasa kebersamaan di ruang publik yang diikat spirit keadaban merupakan pilar utama tegaknya harmoni masyarakat. Melalui sikap saling berbagi keadaban itu, kesejukan kolektif kita akan kembali bersepoi sejuk.
Tentu saja, praksis keadaban orang Prancis dan Inggris yang dinukil Habermas tidaklah sama dengan tata nilai keadaban orang Yogya. Tetapi, niscaya kita mafhum secara naluriah bahwa esensi berbagi keadaban di ruang publik itu menisbatkan sikap saling menghormati pilihan, aspirasi, kepentingan, dan bahkan perasaan. Nilai-nilai tradisi, ajaran-ajaran agama, dan hukum positif kita sungguh telah lebih dari cukup untuk dijadikan panduan praksis bagi semangat berbagi keadaban di ruang publik itu.
Kita bisa menukil satu saja nilai tradisi adiluhung yang sangat terkenal, yakni menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan). Istilah ngasorake (merendahkan) jelas tidak sejalan dengan keadaban publik itu. Sehingga, dapat dipastikan, pendukung paslon mana pun yang tempo hari berkompetisi yang tidak memperlihatkan karakter tanpa ngasorake di ruang publik, bukanlah bagian dari civil society kita. Mereka justru common enemy bagi benang-benang harmoni kebangsaan kita.
Selain perihal keadaban di ruang publik, pascapilkada yang sejatinya hanya merupakan satu alat legal-formal untuk menggerakkan roda-roda pemerintahan, semua kita semestinya mulai siap berkonsentrasi pada pengawalan kinerja pemimpin-pemimpin terpilih. Sikap-sikap kritis seluruh masyarakat dalam koridor legal-formal dan keadaban ruang publik itu haruslah dikibarkan bersama. Demi tercapainya tujuan utama pilkada itu sendiri, yakni mendapatkan pemimpin yang sah dan otoritatif dengan hanya berorientasi pada kepentingan masyarakat luas.
Orientasi Ideal