BERDASARKAN penelitian Kelompok Summer Institute Linguistics (SIL), di seluruh Indonesia saat ini terdapat 726 bahasa daerah (Montolalu, dkk, 2007: 185). Banyaknya jumlah bahasa daerah itu, patut kita syukuri sekaligus kita rawat. Bagaimana agar kedua upaya itu bisa terwujud?
Tiga tahun lalu, pakar dialektologi terkemuka Multamia RMT Lauder mengatakan bahwa Indonesia mengalami minus dokumentasi bahasa. Bahasa yang dimaksud oleh guru besar FIB UI itu adalah bahasa ibu atau bahasa daerah. Di antara semua bahasa-bahasa daerah di Indonesia, ada bahasa dengan jumlah penuturnya jutaan dan ada pula bahasa yang hanya beberapa ribu. Namun ada yang penuturnya hanya beberapa ratus, bahkan beberapa puluh saja.
Menurut para ahli bahasa, di Indonesia ada 13 bahasa terbesar yang jumlah penuturnya di atas 1 juta orang. Misalnya, Bahasa Jawa, Minangkabau, Sunda, Madura, Bali, Aceh, Banjar, dan lain-lain. Sisanya 713 bahasa daerah lain dituturkan kurang dari 1 juta orang. Hemat saya, 713 bahasa daerah itulah yang perlu mendapat perhatian ekstra dari pihak pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat. Tak terkecuali para sastrawan dan pegiat bahasa budaya daerah.
Dalam bukunya 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing (1996), Alif Danya Munsyi, mengatakan bahwa sebagian besar kata Bahasa Indonesia berasal dari asing. Asing di sini, tulis Munsyi, bukan saja bahasa-bahasa Eropa atau Asia. Tetapi juga bahasa daerah Indonesia sendiri, seperti Jawa, Minangkabau, Betawi, Sunda, Bugis-Makassar, Batak, dan lain-lain. Dengan begitu, bahasa daerah ikut juga menyumbang kosakata Bahasa Indonesia.
Sumbangan bahasa daerah bagi Bahasa Indonesia itu patut kita apresiasi sekaligus kita kembangkan. Baru-baru ini, Yayasan Rancage yang dimotori budayawan Ajip Rosidi menerbitkan Sundaling, kamus umum bahasa dan budaya Sunda, dalam versi daring (online). Hal itu dilakukan, mengingat kamus versi luring (offline) tersebut sangat tebal sehingga menyebabkan harganya mahal. Padahal daya beli masyarakat kita terhadap kamus rendah.
Apa yang sudah dilakukan oleh Yayasan Rancage itu, perlu diadopsi para pegiat bahasa-budaya daerah lain. Di Yogyakarta, misalnya, kelak terbit Jawaling, kamus umum bahasa dan budaya Jawa. Kemudian, di Sumatra Barat, kelak terbit Minangkabauling, di Bali terbit Baliling dan lainnya.
Terbitnya Sundaling, diikuti kelak Jawaling, Minangkabauling, Baliling, dan lain-lain merupakan wujud pemanfaatan teknologi digital yang ada saat ini. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V (terbit 2016) telah mengalami digitalisasi sehingga semua orang Indonesia dan asing dapat dengan mudah mengaksesnya melalui gawai. Digitalisasi KBBI Edisi V jelas tak terbayangkan oleh para ahli bahasa dan masyarakat Indonesia sekitar 3-4 dekade silam.
Di samping digitalisasi bahasa daerah, upaya lain yang tak kalah pentingnya adalah penumbuhan kebanggaan berbahasa daerah. Saat ini, jujur saja, kebanggaan berbahasa daerah di kalangan generasi muda menunjukkan tanda-tanda luntur. Kandidat doktor linguistik UNS, A Yumartati, mengatakan jumlah generasi muda di Yogyakarta sudah sedikit yang piawai berbahasa Jawa, terutama ragam krama
kepada guru dan orang tua.