PERISTIWA tragis kekerasan yang dilakukan dalam dunia pendidikan kembali terulang. Meninggalnya tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) korban kegiatan ekstra kurikuler pencinta alam, menjadi tragedi serius. Sama seriusnya saat mahasiswa STPDN meninggal saat mengikuti orientasi awal pendidikan, juga di Guna Dharma, Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, ITB, Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran, Institut Teknologi Nasional Malang dan masih banyak lagi dengan kadar yang beragam. Sekalipun sumpah serapah dan berbagai kutukan atas kejadian ini muncul, termasuk ratapan penyesalan para pelaku, toh tidak mampu menghentikan dalam waktu berikutnya di tempat-tempat lain. Penerapan hukum represif dengan mengadili pelaku, ternyata tidak mempan. Gagal memotong rantai kekerasan yang terus mengalir dengan kedok pendidikan mental.
Sebuah pelatihan dasar atau perploncoan alih-alih menghasilkan kader, mahasiswa yang andal dengan jiwa leadership memadai. Yang terjadi justeru sebaliknya perusakan mental dan penghancur nilai-nilai kemanusiaan. Kegiatan semacam itu terjebak menjadi ajang ekspresi keangkuhan senior yang bengis. Kenyataannya nalar rasional, etika dan misi keberadaban digeser perilaku biadab komunal yang bodoh. Ini sungguh ironis.
Sebagai insan kampus malu rasanya mendengar semua ini. Kampus yang diharapkan sebagai tempat semaian pikiran cerdas, bermartabat dan ditugasi mengemban fungsi pencerahan ternyata yang terjadi sebaliknya. Menjadi neraka bagi mahasiswa. Sampai kapan kita mampu menghentikan ini semua?
Sejenak mari kita cermati, betapa kampus-kampus saat ini kian jauh bergeser. Coraknya bukan lagi tempat yang nyaman belajar dalam pengertian luas dan ideal. Namun kampus makin diwarnai oleh kesibukan mendandani fisik, memperkuat sifat pesolek dengan memamerkan capaian-capaian status akreditasi. Berlomba-lomba mengiklankan diri dalam merekrut mahasiswa dengan bimbingan pendidikan sebagai arena industri pengetahuan.
Dampak perubahan sosial kampus begitu terasa. Secara bertahap makin menyemai karakter hedonistik, individualistik, dan bahkan anarkhis. Apalagi kita tahu, saat ini keberhasilan kampus cenderung diukur dari sisi seberapa banyak telah meluluskan sarjana atau master. Padahal lulusan itu sebagian besar menjejali antrean pencari kerja. Masalahnya adalah, seberapa besar kampus bertanggung jawab atas kualitas yang dihasilkan? Apakah prosesnya selama ini telah memenuhi tugas dan fungsi mendidik agar menjadi instan cerdas dan bermartabat?
Tidak sulit untuk mengatakan bahwa kasus kekerasan oleh sekelompok mahasiswa dengan mereproduksi sikap bengis tidak lain adalah bagian dari dampak tidak langsung dari adanya pergeseran orientasi kampus yang kurang peduli mendidik mental humanis anak didiknya. Rendahnya kepekaan pengelola kampus agar menjaga misi mulia pendidikan menjadi faktor yang menjelaskan mengapa fakta keroposnya lembaga pendidikan terus berlangsung.
Gambaran buruknya kampus dan sekolah yang menyemai kekerasan ini, tidak sulit mengaitkannya dengan kegagalan negara didalam menerjemahkan tanggung jawabnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah misalnya, kurang berhasil menurunkan strategi atau kebijakan pengembangan sumberdaya manusia (SDM) dengan perspektif yang humanis. Kampus dan sekolah cenderung direkayasa, atau bahkan dipaksa oleh para teknokrat (dinas dan kementerian) memenuhi target-target pragmatis untuk kepentingan pembangunan dan pasar. Sehingga nilainilai dan karakter nonkekerasan, etika, kultur keadaban dan seterusnya tidak mendapatkan perhatian serius. Disitulah akhirnya pengelola kampus, termasuk sekolah, hanya menjadi mesin penghasil sarjana dan siswa.
Pada akhirnya, perlu disadari bahwa peristiwa kekerasan yang dialami mahasiswa yang terjadi kali ini, sangat mungkin kembali terulang, di kampus manapun jika kita tetap teledor dan lengah atas kondisi yang ada. Inilah momentum untuk menilik ulang praktik pendidikan kita yang cenderung salah.