Asumsi semacam itu didasarkan hukum sebab akibat. Secara fisik, akibatnya tidak memperlihatkan efek fisik dari bencana sampah visual tersebut. Pemerintah juga menganggap sepi akan bahaya sampah visual. Di mata pemerintah, keberadaan iklan luar ruang merupakan objek pajak yang sangat besar. Ia diposisikan sebagai pahlawan devisa menyumbang pundi-pundi pendapatan asli daerah.
Sudah menjadi rahasia umum, hubungan pemerintah dengan perusahaan pemilik merek dagang, perusahaan periklanan dan tukang pasang iklan luar ruang terjalin cukup mesra serta menguntungkan kedua belah pihak. Keuntungan yang sungguh membahagiakan adalah izin pemasangan iklan luar ruang sesuai kehendak hati sang pemasang iklan atas nama pemilik merek dagang.
Kebahagiaan berikutnya, pemerintah mendapatkan pajak reklame yang menjadi andalan pendapatan asli daerah. Tetapi kalau kemesraan dan kebahagiaan yang terjalin antara parapihak tidak memberikan kebahagiaan bagi warga. Tentu masyarakat sebagai salah satu pilar kontrol sosial memiliki hak untuk mengingatkan carut marut yang menyebabkan munculkan bencana sosial akibat tebaran sampah visual iklan politik dan iklan komersial di ruang publik.
Agar bencana sosial akibat pemasangan iklan luar ruang yang serampangan tidak menimpa warga atau mengguna jalan raya, ada baiknya pemasangan iklan luar ruang harus ditata. Penataan terkait dengan tempat pemasangan dan konstruksi iklan luar ruang juga harus ditata sedemikian rupa.
Penataan iklan luar ruang merupakan wujud kesadaran beriklan sebagai representasi pemenuhan hak pemerintah, pemilik merek dagang, pengusaha periklanan dan tukang pasang serta warga masyarakat. Terpenting, masyarakat harus memiliki hak hidup aman dan damai di jagad raya yang keberadaannya tidak dirusak oleh aksi nakal pemasangan iklan luar. (Dr Sumbo Tinarbuko, Penulis adalah Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, Tulisan ini dimuat di Surat Kabar Kedaulatan Rakyat edisi Kamis, 4 Januari 2017))