BEBERAPA hari terakhir ini publik kembali dikejutkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). OTT tersebut dilakukan terhadap Bupati Klaten yang diduga menerima suap atas promosi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Klaten. Suap-menyuap atau jual-beli untuk mendapatkan jabatan tampaknya belum juga hilang.
Menurut laporan Kedaulatan Rakyat, ‘harga’ untuk setiap posisi jabatan berkisar antara Rp 50 juta s/d Rp 100 juta (KR, 03/01/17). Hal ini menunjukkan bahwa di negara kita masih belum terwujud clean governance. Kerja keras untuk merevolusi mental pejabat dan masyarakat Indonesia masih belum berhasil.
Sebenarnya, mengapa suap-menyuap itu masih sering terjadi? Jawaban utama yang paling mudah adalah adanya niat atau keinginan menjadi penguasa (imperialism). Hal ini yang mendorong individu berani menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Para pejabat masih belum bisa ‘bekerja dengan hati’. Barangkali pertukaran ekonomi (economic exhange) masih lebih kuat daripada pertukaran sosial (social exhange). Hal ini yang mendorong individu berani menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Para pejabat masih belum bisa ‘bekerja dengan hati’. Barangkali pertukaran ekonomi (economic exhange) masih lebih kuat daripada pertukaran sosial (social exhange). Hal inilah yang mendorong seseorang lebih mengutamakan memperoleh jabatan dengan segala cara tanpa memikirkan bagaimana dia akan bekerja untuk melayani masyarakat.
Mengapa pertukaran ekonomi menjadi lebih sering terjadi? Jawabannya adalah tidak adanya mekanisme atau sistem transparan yang digunakan untuk melakukan promosi jabatan. Mekanisme tersebut sebenarnya berasal dari penilaian kinerja (performance appraisal) karyawan. Sementara itu, penilaian kinerja seharusnya juga didasarkan pada manajemen kinerja (performance management) yang diturunkan dari visi, misi, dan strategi.
Pertanyaannya apakah pemerintah daerah (kabupaten, kota, dan provinsi) di Indonesia mempunyai visi, misi, dan strategi yang jelas dan dapat terukur? Nampaknya tidak semua di pemerintah daerah (pemda) memilikinya. Dari visi, misi, dan strategi tersebut ujung-ujungnya dapat diturunkan menjadi indikator kinerja kunci (key performance indicator atau KPI) untuk semua personel/karyawan yang ada dalam organisasi di lingkungan pemerintah daerah (Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD).
Penulis menduga belum seluruh pemda menyusun visi, misi, dan strateginya dengan baik atau ideal sehingga berdampak belum tersedianya indikator kinerja bagi personel atau karyawan pemda. Jika sudah disusun dengan baik, dan indikator kinerja karyawan sudah tersedia namun belum/tidak diterapkan sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, penilaian kinerja juga jarang dilakukan, baik kinerja organisasi, unit, maupun karyawan. Jika penilaian kinerja ini tidak dilakukan, maka promosi jabatan sulit dicari dasarnya. Selanjutnya dapat diduga karyawan yang ingin dipromosikan mendekati pemimpinnya, melakukan impresi, bahkan bila pemimpinnya ìmata duitanî, terjadilah suap-menyuap atau jual beli jabatan.
Dijerat hukuman barangkali tidak akan membuat jera, karena suap-menyuap ini telah mengakar kuat. Lalu, apa yang dapat dilakukan? Perubahan sistem tentu saja. Dari yang semula ëasal jalanà menjadi lebih tertata dengan kejelasan visi, misi, dan strategi, serta dapat diukur (accountable). Pimpinan dan seluruh jajarannya harus berani duduk bersama menentukan hal tersebut, hingga sasaran yang dapat terukur itu dapat diformulasikan dan diterapkan. Evaluasi terhadap sasaran yang terukur mutlak harus selalu dilakukan untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus dan berkelanjutan (continuous improvement).