DENSUS 88 beberapa waktu lalu kembali menangkap terduga teroris di Bekasi Jawa Barat. Cukup menarik ketika dari peristiwa tersebut salah satu terduga teroris adalah perempuan berinisial (DYN). DYN telah dipersiapkan jaringannya untuk menjadi ‘pengantin’ dan akan meledakkan bom bunuh diri. Penangkapan terhadap DYN menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran pola perekrutan pelaku bom bunuh diri, dalam hal ini jaringan terorisme mulai melibatkan perempuan dalam aksi mereka.
Jika menilik dalam konstelasi global, peran perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri bukan hal baru, salah satunya pernah dilakukan oleh para perempuan yang tergabung dalam Black Widows. Black Widows sendiri awalnya dipergunakan pers Rusia untuk menyebut para janda yang rela menjadi martir demi menuntut balas atas kematian suami. Namun dalam perkembangannya diduga tidak hanya menuntut balas atas kematian suami mereka akan tetapi juga anggota keluarga lainnya seperti kakak, adik, anak dalam serangan yang dilakukan oleh militer Rusia. Perempuan martir tersebut tersebar di beberapa wilayah seperti Chechnya, Dagestan, dan Ingushetia. Kesemuanya berada di Kaukasus Utara.
Perempuan Pertama
Di Indonesia, DYN adalah perempuan pertama yang teridentifikasi sebagai calon perempuan martir atau ‘calon pengantin’. Alasan DYN menjadi ‘calon pengantin’ patut dipertanyakan. Menurut keterangan Kepala Biro Pusat Penerangan Masyarakat Polri besar kemungkinan DYN berada dalam jaringan Bahrun Naim yang saat ini telah berbaiat kepada ISIS dan menjadi pimpinan Jamaah Anshor Daulah Khilafah Nusantara (JADKN). Jika memang benar DYN adalah bagian dari kelompok ISIS, maka besar kemungkinan alasan DYN menjadi martir adalah ideologi. Secara singkat dapat dikatakan, ideologi yang dianut oleh ISIS adalah Salafi Jihadi (Crethi, Plethi,2015).
Dalam ajaran Salafi Jihad terdapat beberapa doktrin, salah satunya adalah Tauhid Irhabiyah. Menurut doktrin ini, melakukan terorisme dibenarkan oleh syariat. Salah satu bentuk teror yang diizinkan adalah membunuh warga sipil yang selama ini dilarang untuk dibunuh seperti anak-anak, perempuan dan orang tua. Warga tersebut menjadi halal darahnya karena mereka dianggap ikut membantu orangorang kafir.
Selain itu alasan diperbolehkannya membunuh warga sipil adalah dalam rangka qishos (balas dendam). Selain doktrin tersebut para penganut Salafi Jihadi meyakini bahwa hukum jihad adalah fardhu ain, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdullah Azzam salah satu tokoh Salafi Jihadi. Dalam An Nihayah Wal Khulashoh disebutkan, bahwa dalam kondisi tertentu jihad merupakan kewajiban setiap muslim (fardu ain). Artinya perempuan juga memiliki kewajiban untuk berjihad. Azzam menegaskan bahwa seorang perempuan diperbolehkan berjihad tanpa izin dari suami namun tetap didampingi mahrom.
Berdasarkan pemahaman kedua hal tersebut maka dalam kondisi tertentu perempuan memiliki kewajiban untuk melakukan jihad. Pemahaman seperti inilah yang berpotensi mengarahkan perempuan seperti DYN untuk ikut mengambil peran dalam aksi terorisme khususnya berperan menjadi ‘pengantin’ (martir). Dengan demikian baik laki-laki ataupun perempuan pada dasarnya memiliki potensi yang sama terlibat dalam jaringan terorisme.
Sudah saatnya pihak-pihak terkait, misalnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki program yang diarahkan kepada para perempuan sebagai langkah preventif. Jangan ada pengikut DYN. Langkah tersebut bisa berupa kegiatan yang melibatkan kaum perempuan, misalnya, dialog untuk mengantisipasi masuknya ideologi terorisme kepada para perempuan. Mereka diberikan pemahaman akan bahaya terorisme dan pentingnya mewaspadai propaganda yang dilakukan kelompok teroris.